Menakar Urgensi Perda Pesantren di Sulawesi Barat

Pesantren akan secara legal berhubungan dengann dinas sosial, dinas ketenagakerjaan, dinas perikanan dan lain sebagainya.

Keterlibatan pemerintah secara holistik ini membuka ruang dan dimensi yang lebih lebar pagi pesantren. Pesantren yang lebih dominan kepada fungsi pendidikan dan dakwah akan banyak berhubungan dengan dinas pendidikan dan departermen agama. Adapun pesantren yang berbasis interpreneurship akan banyak bersinggungan dengan dinas-dinas terkait, demikian seterusnya.

Dari sini, asas kesetaraan atau porsi perhatian pemerintah kepada pesantren bisa lebih adil dan merata, tanpa melihat skala besar kecilnya pesantren. Tidak memandang baru atau lamanya usia pesantren. Selama pesantren tersebut legal di mata pemerintah, maka pemerintah harus hadir. Jadi pendekatan rekognisi, afirmasi dan fasilitasi pemerintah ini merujuk pada tingkat kebutuhan dan focus kegiatan masing-masing pesantren. Sebagai misal, dinas PUPR tidak perlu terlalu memberi bantuan infrastruktur pada pesantren yang sudah memenuhi kebutuhan secara layak dan memadai.

Ketiga, Kelahiran Perda ini, seyogyanya disambut dengan semangat optimisme bersama untuk kemaslahatan pesantren secara khusus dan daerah secara umum. Karena itu sudah pasti kelahir perda ini memiliki konsekuensi logis. Untuk pemerintah, Perda ini menuntut agar pesantren masuk ke dalam perencanaan pembagunan daerah. Ini tidak saja mengenai atau menyangkut penganggaran, tapi pemerintah daerah baik legislatif maupun eksekutif harus memiliki visi yang bernapas kepesantrenan. Bahwa pesantren dipandang sebagai aset strategi bagi pemerintah untuk kepentingan pembangunan di daerah.

Adapun bagi pesantren, kelahiran Perda ini menuntut perbaikan internal pesantren terutama aspek manajemen atau tatakelola pesantren itu sendiri. Maka aspek akuntablitas dan transparansi ini harus membudaya. Tidak saja perbaikan manajemen sumberdaya manusianya, namun pada tata administrasi khusunya administrasi pengelolaan anggara pesantren.

Karena kewenangan Kiai dalam tradisi pesantren tradisional yang cukup besar selama ini termasuk “berkuasa penuh” terhadap dana pesantren harus diakhiri. Itulah kesan yang timbul bahwa pesantren jauh dari sistem tatakelola modern. Bahkan sempat ada istilah “Uang Pesantren, uang Kiai” yang tentu saja tidak relevan lagi dengan kehadiran Perda Kepesantren. Penyelanggaraan pesantren harus berasas profesonalisme, akuntablitas sesuai yang termaktub dalam pasal 2 undang- undang kepesantrenan.

Pesantren harus berani diaudit secara internal maupun eksternal. Dengan demikian trust masyarakat terhadap pesantren akan lebih besar setelah pesantren “kecipratan” anggaran pembangunan yang notabene adalah dana masyarakat. Jangan sampai, naudzhubillah, terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan anggaran, yang justeru mempengaruhi eksistensi dan nama baik pesantren di masa yang akan datang.