Menakar Urgensi Perda Pesantren di Sulawesi Barat

Namun di sisi lain, undang-undang ini baru lahir setelah lebih dari 70 tahun kita merdeka. Meskipun sebelumnya telah dikeluarkan Keppres No.22 tahun 22 tentang hari santri. Demikian pula pada tahun 1975 melalui SKB 3 Menteri dan Undang-undang Sisdiknas tahun 2003, akan tetapi belum memperjelas kedudukan pesantren, selain pengakuan terhadap eksistensi madrasah yang berkorelasi dengan pesantren.

Secara umum, undang-undang pesantren ini menetapkan prespektif kolektif antara pemerintah dan masyarakat mengenai pesantren, mulai dari defenisi, asas, tujuan dan ruang lingkup. Hal ini sangat penting menjadi rujukan hukum dan budaya agar tidak terjadi perdebatan panjang terkait hal mendasar ini. Terutama bahwa ruang lingkup fungsi pesantren mencakup tiga hal yaitu; pendidikan, dakwah dan pemberdayaan masyarakat. Ini berarti, pesantren harus berhati-hati atau membatasi diri untuk tidak melakukan aktivitas lain yang bertentangan atau keluar dari fungsi tersebut.

Selanjutnya, menurut undang-undang ini, bahwa untuk menjamin penyelenggaran fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan, dakwah dan pemberdayaan masyarakat, maka negara akan hadir untuk memberikan rekognisi, afirmasi dan fasilitasi. Ketiga hal ini sudah sangat jelas bahwa pemerintah hadir secara serius untuk mendukung pesantren yang selama ini cenderung dimarjinalkan.

Oleh karena itu kehadiran Perda Pesantren merupakan keniscayaan. Karena jelas merupakan amanat undang-undang yang memberikan mandat kepada pemerintah daerah untuk mendukung dan memfasilitasi pesantren. Sebagai contoh, tertuang dalam pasal 42, “ Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan dukungan pelaksanaan fungsi dakwah dalam bentuk kerjasama program, fasilitasi kebijakan, dan pendanaan. Demikian pula pada pasal 46, “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan dukungan dan fasilitasi ke Pesantren dalam melaksanakan fungsi pemberdayaan masyarakat”.

Penulis berpendapat, tidak ada alasan bagi pemerintah daerah untuk tidak menidaklanjuti undang-undang tersebut dalam Perda yang akan mengatur pola hubungan antara pesantren dengan pemerintah daerah. Terutama bagi Pemda yang secara historis dan faktual memiliki banyak pesantren yang berdomisi diwilayahnya, apalagi daerah-daerah yang sangat kental dengan tradisi keilmuan dan keulamaan seperti di tanah Mandar ini. Kehadiran Perda Kepesantrenan ini menjadi “ujian politik” bagi daerah-daerah yang selalu mengangkat tema religi. Sebab rasanya utopis, sebuah daerah bisa membumikan religiusitas tanpa kehadiran pesantren yang menjadi napas dari slogan religi itu sendiri.

Dalam menyambut Perda ini, baik pemerintah daerah maupun masyarkat terutama kalangan pesantren secara bersama-sama harus mendudukkan cara pandang (mindset) yang baik terkait Pesantren, Perda Kepesantrenan, dan konsekuensi logis dan budaya yang timbul paska kelahirannya.

Pertama, terkait pesantren, semuan elemen harus merubah cara pandang terhadap pesantren. Bahwa pesantren tidak saja dipandang sebagai lembaga pendidikan dan dakwah Islam semata, namun juga memainkan peran vital lain, yaitu sebagai lembaga pemberdayaan masyarakat. Karena aspek terakhir ini, tampaknya masih menjadi PR besar bagi pesantren, demikian sebaliknya masyarakat belum melihat secara signifikan kedua fungsi ini dijalankan dengan baik oleh pesantren. Dalam pasal 43 undang-undang kepesantrenan, jelas menyebutkan bahwa peran pemberdayaan masyarkat oleh pesantren berorientasi pada pengingkatan kesejahteraan Pesantren dan masyarakat. Tentu saja masih dibutuhakan edukasi dalam bentuk seminar atau lokakarya untuk membincang, konsep, rencana strategis bahkan roadmap terkait tema pemberdayaan yang sejatinya belum familiar bagi sebagian pesantren.

Kesamaan cara pandang terhadap kebutuhan pesantren ini, akan membantu terjalinnya relasi yang baik antara pemerintah daerah dengan pesantren. Karena pemerintah tidak akan memandang pesantren sebagai objek penerima bantuan an sich, namun melihat pesantren sebagai partner strategis dalam pembangunan di daerah. Bisa dibayangkan persoalan-persoalan sosial politik yang dihadapi daerah bisa melibatkan pesantren dalam penyelesainnya.

Kedua, terkait Perda Kepesantrenan. Baik pemerintah maupun pesantren harus secara perlahan tapi pasti mengajak partisipasi semua fungsi pemerintah (Kedinasan) di lingkup pemerintah daerah, bahwa pesantren tidak saja menjadi domain kementrian agama, tapi semua unsur pemerintah harus membuka pintu selebar-lebarnya terhadap pesantren sebagai partner strategis.