Melacak Akar Problem Otentisitas Teks-Teks Arab

Problem Penulisan

Berkaitan dengan keragaman dialek, meskipun telah diputuskan untuk menggunakan satu dialek resmi sebagai bahasa baku bagi al-Qur’an, namun hal lain yang “mengganggu” keaslian bahasa Arab ialah ditambahkannya titik atau nuqthah dan harakat atau syakl pada ayat-ayat al-Qur’an yang selanjutnya berpengaruh secara revolusioner pada cara penulisan dalam bahasa Arab pada umumnya. Memang, al-Quran sendiri pada mulanya ditulis tanpa titik dan baris. Namun, kondisi ini tidak mempengaruhi bacaan Al-Quran karena kaum muslimin saat itu adalah orang-orang yang fasih dalam bahasa Arab. Dengan tersiarnya Islam ke negara-negara non-Arab, maka timbul kesulitan dalam membaca Al-Quran. Karena itu, Abul Aswad Ad-Duali pada masa Khalifah Muawiyah memberi tanda vokal (harakat) dengan tinta yang berlainan. Titik di atas untuk fat-hah, titik di bawah untuk kasrah, titik di sebelah kiri atas untuk dlammah, dan dua titik untuk tanwin. Pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan, Nashir bin Ashim dan Yahya bin Ya’mar menambahkan titik pada huruf-huruf yang sekarang bertitik, dengan tinta yang sama dengan hurufnya.

Cara penulisan tersebut bertahan sampai masa awal Dinasti Abbasiah. Namun, banyaknya titik menyebabkan kebingungan, selain titik itu lama-lama hampir serupa warnanya. Oleh karena itu, Al-Khalil membuat tanda baru untuk harakat sebagaimana yang kita kenal sekarang ini.

Masih Dibalik Tabir?

Apa dampak dari keempat problem tersebut bagi keotentikan teks-teks Arab dalam studi filologi? Menurut Prof. Dr. Chamamah Suratno, dalam suatu perkuliahan, asas utama dari kajian filologi adalah kesinambungan antara masa lalu dengan masa kini dan masa depan. Masa lalu mempengaruhi masa kini, dan masa kini mempengaruhi masa depan. Lalu, apakah bukti keotentikan filologis bahasa Arab yang “hanya” terhenti pada 150 tahun sebelum Islam, yakni pada masa Jahiliyah, dapat menyambungkan masa lalu dengan masa depan?