Kehidupan Arab Jahiliyah adalah kehidupan badui yang berpindah-pindah dan tidak tunduk pada aturan atau perundang-undangan.[1] Lalu, bagaimana filologi bekerja dan bagaimana arkeologi berproses untuk membuktikan keotentikan teks-teks Arab sebagai dirinya sendiri? Bukankah tradisi tulis menulis di Arab terbentuk dan menguat sejak Islam datang? Yakni, ketika orang-orang sudah mulai melek tentang arti huruf, titik, dan harakat dalam bahasa.
Problem Keragaman Dialek
Bahasa Arab bukanlah bahasa yang lahir tanpa masa silam yang mengantarkannya menjadi bahasa yang sempurna seperti saat ini. Demikian pula, ia juga bukan bahasa yang berdiri sendiri yang terpisah dari berbagai unsur linguistik yang ada di sekelilingnya. Bahasa Arab adalah bagian dari masa lalu dan lingkungannya.
Di Jazirah Arab yang berbentuk kontinen dan sangat luas, para kabilah hidup secara berpindah-pindah (nomaden). Di atas hamparan gurun pasir itulah para penutur dialek (nâthiqi al-Lahjah) hidup dengan kekhasan masing-masing. Intonasi dan gaya bahasa yang mereka gunakan berbeda dengan mereka yang hidup di lingkungan yang lain. Ini terbentuk dalam masa yang panjang yang terwariskan dari moyang mereka. Selanjutnya, hal ini menjadikan tiap kabilah memiliki independensi atau kemerdekaan.
Penutur dialek yang berinteraksi dengan yang lain sangat membuka kemungkinan munculnya dialek baru (Abdul Ghaffar Hamid Hilal, 1998). Namun, terlepas dari segala keragaman itu, mereka juga menyepakati penggunaan satu dialek yang dapat dipahami secara bersama ketika di bertemu di pasar atau pada musim haji.
Bahasa Arab yang eksis hari ini adalah salah satu dari beberapa dialek besar Arab. Tentu bukan tugas ringan menghadapi berbagai tuduhan bahwa keputusan Khalifah Utsman yang memerintahkan pembakaran berbagai mushaf yang ditulis dalam dialek non-Quraisy adalah keputusan yang “mematikan” jejak-jejak bahasa Arab itu sendiri.