Selain keempat pandangan ini, masih ada pendapat lain tentang asal-muasal kemampuan manusia berbahasa yang mencoba mengkompromikan semua pandangan tersebut di atas. Namun, karena keterbatasan ruang, uraian tentang hal itu tidak menjadi perhatian. Namun, yang pasti, beragamnya pandangan tentang asal-usul kemampuan manusia berbahasa sangat erat kaitannya dengan silsilah atau eksistensi bahasa itu sendiri. Jika dikembalikan kepada pertanyaan tentang bagaimana asal-muasal bahasa Arab, maka beragam jawaban akan muncul. Ini adalah problem tersendiri yang tidak mudah membuktikannya, karena menyangkut sesuatu yang sangat sulit dilacak kembali, kecuali hanya perkiraan atau asumsi teoritis belaka.
Problem Filologis-Arkeologis
Ada sejumlah kesulitan yang dihadapi para peneliti dan sejarawan ketika hendak menggali lebih jauh tentang asal-usul bahasa Arab. Kesulitan itu berkaitan dengan bukti arkeologis berupa benda-benda/artefak kuno peninggalan masa silam dan bukti manuskrip berupa tulisan-tulisan pada benda tersebut atau pada lembaran tertentu. Pertanyaan yang kerap muncul ialah bagaimana keadaan bahasa Arab sebelum Islam datang dengan al-Qur’an yang berbahasa Arab? Bagaimana bukti yang dapat menunjukkan keberadaan bahasa Arab demikian?
Menurut Shalah Rawwa (2003)., tidak ada data yang dapat dilacak kecuali syair-syair gubahan seperti Umru’ul Qais yang hidup sekitar 150 tahun sebelum Islam datang. Bukti-bukti berupa prasasti tidak ada yang menunjang tentang pertanyaan besar yang bersifat arkeologis dan filologis ini.
Prof. Dr. M.M al A’zami dalam Sejarah Teks Al-Quran – dari Wahyu sampai Kompilasinya mengulas dengan gamblang tentang bagaimana sejarah teks al-Qur’an. Ia juga menyinggung tentang bagaimana bahasa Arab sebelum al-Qur’an turun. Ditulisnya, bahwa naskah-naskah kuno yang ditemukan tidak lebih tua dari naskah Umru’ul Qais yang berkaitan dengan bahasa Arab (Muhammad Musthafa al A’zami, 2005).
Bagi orang Arab, terutama pada masa Jahiliyah, mereka memiliki kebanggaan pada dua hal, yaitu aswâq al-‘Arab dan ayyam al-‘Arab. Pasar-pasar (aswâq al-‘Arab) merupakan simbol dari iklim niaga yang melingkupi kehidupan Arab ketika itu. Di pasar-pasar inilah mereka bertukar pikiran, saling berbalas syair, beradu ketangkasan dalam balâghah, unjuk keberanian, dsb (Abdul Hamid Mahmud al-Maslut, 1955).
Tiga di antara pasar yang terkenal kala itu ialah: (1) pasar ‘Uqazh yang merupakan momentum pasar terbesar yang terletak di antara Nakhlah dan Thaif dan beroperasi antara awal Dzulqa’dah hingga tanggal 20 setiap tahun; (2) pasar Mijnah yang letaknya tidak jauh dari Mekah yang dibentuk sebagai kelanjutan dari ‘Uqâzh dan berlangsung hingga akhir bulan Dzulqa’dah. Adapun (3) pasar Dzil Majaz terletak di Mina dekat Arafah yang diselenggarakan selama 8 hari pada bulan Dzulhajj dan berpindah ke Arafah pada hari ke 9. Mereka bersepakat bertemu setiap empat tahun sekali dalam ritual haji dan mengharamkan terjadinya peperangan dalam bulan-bulan tersebut.
Jadi, kegiatan bangsa Arab adalah kegiatan oral atau lisan yang membuatnya berbeda dengan Mesir Kuno atau Babilonia. Mereka menyimpan peristiwa bersejarah atau momentum historis yang membanggakan ke dalam ingatan atau kisah-kisah (ayyâm al-‘Arab) yang menceritakan masa lalu mereka. Bukti-bukti tertulis, seperti prasasti yang dapat mendukung itu dapat dikatakan sangat minim atau barangkali tidak ada (?).