Melacak Akar Problem Otentisitas Teks-Teks Arab

Terlepas dari beragam tendensi politis atau teologis yang melatari sebuah riset tentang bahasa, terutama bahasa Arab, adalah fakta bahwa setiap bahasa memiliki dunianya sendiri yang membedakannya dengan yang lain, termasuk ruang-ruang yang belum terjawab dengan gamblang. Bahasa Arab pun demikian. Hanya saja, persoalan tetaplah persoalan. Ia menjadi baik jika dipandang dengan paradigma positif. Sebaliknya, selama seseorang memakai paradigma negatif, suasana tanpa persoalan pun dapat menjadi masalah.

Dalam bahasa Arab, problematika (musykilah) yang mengundang kajian mendalam dapat diidentifikasi sebagai berikut:

Problem Asal-Usul Bahasa

Salah satu problem yang masih kerap dimunculkan manusia ialah tentang asal-usul bahasa. Bagaimana prosesnya sehingga manusia mampu berbahasa: apakah sepenuhnya berproses secara alamiah atau sepenuhnya ilham dari Allah SWT? Dalam menjawab masalah tersebut, para pakar dapat dipetakan menjadi beberapa kelompok. Pertama, kelompok yang menyepakati bahwa kemampuan manusia berbahasa adalah sebagaimana turunnya wahyu secara tawqîfî. Mereka antara lain Abu Utsman al-Jahizh. Dikatakannya bahwa Allah SWT berbicara dengan Nabi-Nya, Ismail AS dengan bahasa Arab (Shalah Rawwa, 2003).

Dasar yang diperpegangi mereka yang berpendapat demikian ialah firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 31.

Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar!”

Kata asmaa‘ dalam ayat itu dipahami sebagai bahasa Arab. Senada dengan pandangan tersebut, bahkan lebih jauh, sebagaimana disebutkan oleh Shalâh Rawwâ bahwa sebagian mufasir berpendapat bahwa Adam AS telah menggunakan bahasa Arab, demikian pula dengan keturunannya hingga banjir besar pada masa Nabi Nuh AS. Sejak kapal besar Nuh AS mendarat dan penumpangnya bersebaran, bahasa pun mulai beragam. Mereka yang berada dalam pandangan ini juga berpendapat bahwa bahasa penghuni surga ialah bahasa Arab.

Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa kemampuan manusia berbahasa itu murni sebagai hasil interaksi sesama manusia dengan menggunakan suara atau bunyi dalam rangka menyampaikan maksud atau tujuannya. Suara itu selanjutnya disepakati dan menjadi alat komunikasi untuk menyatakan pikiran. Jadi, keberadaan orang lain sangat menentukan lahirnya bahasa.

Ketiga, kelompok yang mengatakan bahwa kemampuan berbahasa itu adalah insting khas pada manusia yang menjadi bekalnya sejak lahir. Insting ini mendorong manusia untuk mengemukakan pikiran, perasaan, dan keinginannya melalui interaksi. Dengan bekal ini, manusia menyuarakan secara spontan secara reaktif (Abdus Shabur Syahin, 1984). 

Keempat, kelompok yang mengemukakan bahwa kemampuan manusia berbahasa itu sebagai hasil tiruan suara alam yang didengar manusia pertama. Dari bunyi itu, manusia membuat istilah atau nama-nama.