Mamuju di Ring of Fire: Simboro Perkuat Kesiapsiagaan Warga Hadapi Bencana Gempa

Laporan: Wahyu Santoso

MANDARNESIA.COM, Mamuju – Kantor Kecamatan Simboro, Kabupaten Mamuju, pada hari Rabu, 18 Juni 2025, menjadi saksi bisu dari sebuah inisiatif krusial yang bertujuan memperkuat kapasitas mitigasi bencana di tingkat lokal. Dalam sebuah acara yang dihadiri oleh para pemangku kepentingan kunci, termasuk Sekretaris Desa, Kepala Lingkungan, dan tiga tokoh masyarakat terkemuka dari seluruh Kecamatan Simboro, kegiatan pemenuhan kapasitas mitigasi bencana ini secara jelas menegaskan komitmen kolektif dalam menghadapi potensi ancaman yang mendera wilayah tersebut, terutama mengingat posisi geografisnya yang rentan.

Kolaborasi strategis antara Camat Simboro, Muh. Akbar, dengan Pusat Pengendalian Operasi (PUSDALOPS) Penanggulangan Bencana Provinsi Sulawesi Barat menjadi tulang punggung penyelenggaraan Sosialisasi dan Simulasi Penanggulangan Bencana ini.

Inisiatif yang komprehensif ini dirancang tidak hanya untuk menyebarluaskan informasi penting, tetapi juga untuk membekali para peserta dengan pengetahuan mendalam serta keterampilan praktis yang esensial. Fokus utamanya adalah bagaimana bertindak secara efektif dan efisien dalam situasi darurat, khususnya ketika berhadapan dengan ancaman gempa bumi yang merupakan risiko laten di kawasan ini.

Dalam sesi pembukaan yang penuh penekanan, Camat Muh. Akbar tidak ragu menyoroti kenyataan pahit bahwa Sulawesi Barat berada dalam sebuah zona aktif patahan dan sesar gempa. “Perlu diketahui bersama bahwa Sulawesi Barat berada dalam Ring of Fire atau Cincin Api, maksudnya Sulbar dalam area patahan atau sesar gempa. Maka, perlu kita mempersiapkan diri pra-mitigasi,” tegas Akbar.

Pernyataannya bukan sekadar retorika, melainkan sebuah seruan nyata untuk membangun kesadaran kolektif akan pentingnya persiapan dini. Ia bahkan mengambil contoh Jepang, negara maju yang telah berhasil “bersahabat dengan gempa,” sebagai inspirasi bagaimana kesadaran dan kesiap-siagaan mitigasi bencana dapat mengubah paradigma dari sekadar korban menjadi masyarakat yang tangguh.

Meningkatkan urgensi pembahasan, Bayu, perwakilan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), menambahkan perspektif penting mengenai peran krusial para pemangku kepentingan di setiap lapisan masyarakat. Ia menekankan bahwa kesiapsiagaan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan sebuah upaya kolektif yang melibatkan setiap elemen.

“Kita juga perlu mengetahui apa saja peran pemangku kepentingan dalam upaya kesiapsiagaan menghadapi ancaman gempa bumi melalui sosialisasi simulasi penanggulangan bencana ini,” jelas Bayu (Perwakilan dari Pusat Pendidikan dan Latihan BNPB) menekankan bahwa pemahaman akan peran masing-masing adalah kunci efektivitas respons bencana.

Kepala Pelaksana (Kalaksa) BPBD Provinsi Sulawesi Barat, Muh. Yassir Fattah, kemudian mempresentasikan data yang cukup mencemaskan, memberikan gambaran nyata tentang tingkat kerentanan wilayah.

“Indeks risiko bencana di Sulawesi Barat masih dalam kategori berisiko tinggi bencana,” ungkap Yassir, dengan nada serius.

Data ini bukan hanya statistik, melainkan sebuah cerminan dari tantangan besar yang dihadapi Sulawesi Barat dalam konteks bencana alam, menempatkannya di antara daerah-daerah paling berisiko di Indonesia.

Yassir juga merinci rekam jejak bencana yang telah melanda Sulawesi Barat, memberikan gambaran konkret tentang frekuensi dan jenis insiden yang terjadi. “Total 58 kejadian bencana meliputi banjir, longsor dan juga kebakaran hutan serta lahan,” tambahnya.

Angka ini, bersama dengan jenis bencana yang disebutkan, menegaskan bahwa Sulawesi Barat tidak hanya rentan terhadap gempa bumi, tetapi juga ancaman hidrometeorologi dan bencana antropogenik yang memerlukan perhatian serius dan upaya mitigasi yang komprehensif dari seluruh elemen masyarakat dan pemerintah.

Membuka kegiatan, Kalaksa Yassir kembali menegaskan visi pentingnya pembentukan masyarakat yang tangguh dan sadar mitigasi di Sulawesi Barat. Ia menyoroti kebutuhan mendesak akan individu-individu yang tidak hanya mengenal berbagai jenis bencana, tetapi juga memahami secara mendalam upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk mengurangi dampaknya.

Seruan untuk membangun “desa/kampung tangguh siaga bencana” menjadi inti dari pesan penutupnya, menyoroti bahwa kesiapsiagaan harus dimulai dari unit terkecil, sehingga setiap individu dan komunitas mampu menjadi garda terdepan dalam upaya penanggulangan bencana demi masa depan yang lebih aman bagi Sulawesi Barat. (WM)