Bisa diperhatikan sebuah mantra khusus sebagai berikut:
“Mai nasammo’o sirumung, dinimitu’u ganrammu nitannang, gasa’mi tama ganrang sossorammu daeng, I Rappang Bulu I pui butir, I tomaressa Malolo“.
Penggalan mantra tersebut memperjelas bahwa mantra yang digunakan dalam menangkap tui-tuing sarat dengan kata porno dan seruan yang berbau seksual. Pertanyaannya kemudian, mengapa harus kata-kata porno dan seruan untuk melakukan hubungan seks. Apakah tui-tuing merupakan jenis ikan yang gila seks? Entahlah. Yang pasti, bahwa sebuah kebiasaan yang kemudian menjadi tradisi turun temurun, tentu memiliki alasan yang menjadi latar belakang kemunculannya.
Begitupun dengan munculnya mantra memanggil tui–tuing bagi masyarakat Mandar. Ternyata kemudian ditemukan jawaban bahwa kata-kata porno tersebut berlatar belakang pada mitos yang berkembang dalam masyarakat Mandar tentang awal mula adanya tui–tuing.
Konon, tui–tuing pada awalnya adalah seekor lebah. Dalam mitos ini diceritakan putri lebah yang cantik terbang ke laut membawa rasa sakit hatinya karena gagal dalam bercinta. Dilaut lepas putri lebah itu kemudian diambil oleh raja ikan dan dijadikan inteligen atau agen rahasia karena dia bisa terbang. Karena keahliannya, putri lebah menjadi aparat istimewa dan mendapat perhatian khusus dari raja ikan. Lambat laun, putri lebah itu kemudian berubah menjadi seekor ikan terbang: tui–tuing.
Cerita ini sangat populer dalam masyarakat Mandar, terutama masyarakat nelayan, lebih khusus lagi nelayan ikan terbang. Hal ini sejurus dengan yang pernah dikisahkan, Drs. Abdul Muis Mandra dalam buku Ditirakaqna Alang (Sulbar.com).
(BERSAMBUNG)