Ikan tuing–tuing ini memang tidak enak jika digoreng maupun dibakar, mengingat sisiknya yang tebal. Jika melalui proses pengasapan, pada saat memakannya, sisiknya mudah dibuka dan daging yang tercium menjadi lebih harum. Ikan yang sudah matang bisa langsung dimakan atau disimpan. Wisata Kuliner ini mulai berkembang pada tahun 2000-an dan kini terdapat hampir lebih kurang 100-an buah warung yang menyediakan penganan ikan terbang.
Warung yang berada di kiri jalan trans Sulawesi (dari arah Makassar menuju Mamuju) berada di pinggir laut, tempat dimana ikan tui-tuing ini didapat. Ikan terbang asap dikonsumsi dengan buras (seperti buras, sokkol lameaju dan gogos serta jepa)) dan sambal khas yang terbuat dari cabai merah diulek bersama-sama bawang merah dan tomat, dibubuhi sedikit garam, kemudian sambal ini disiram minyak panas. Pada saat mau makan, kucuri sambalnya dengan sedikit perasan jeruk nipis agar bisa menikmati sensasi yang dapat membuat lidah bergoyang terus tak mau berhenti menikmati (www.dream.co.id).
Mengenal Tui-tuing
Tui-Tuing adalah salah satu jenis ikan laut yang juga dikenal dengan Ikan Terbang atau ikan Indosiar. Ikan ini memiliki nama latin parexocoetus brachypterus. Ikan yang termasuk kedalam familyexotidae ini memiliki ciri yang khas, yaitu sirip dadanya yang besar yang menyebabkan ikan jenis ini dapat meluncur terbang di udara walau secara singkat.
Ikan tui-tuing ini terbang sebetulnya untuk pembelaan dirinya dari kejaran pemangsa. Jarak terbang yang ditempuhnya biasanya tidak jauh, sekitar 50-an meter, namun fakta lain menyebutkan bahwa ikan ini, dengan memanfaatkan tenaga gelombang laut, dapat terbang mencapai jarak sekitar 400 meter (www.dream.co.id).
Mengenai Ikan Tui-Tuing, ada sebuah kepercayaan yang melekat pada tradisi nelayan yang menggunakan beragam ritual yang bersifat supranatural dalam penangkapan ikan terbang. Tradisi leluhur atau yang dikenal sebagai ussul dalam penangkapan ikan terbang dilakukan dengan bentuk ritual tersendiri sebab mereka meyakini bahwa di laut begitu banyak hal yang mistik dan berada di luar kendali akal pikiran manusia.
Leluhur Mandar dalam hal apapun dikenal sebagai manusia yang selalu bertimbang kemaslahatan bersama. Dalam hal ini, laut bagi orang Mandar terdapat hubungan yang mengkristal sehingga segala tindakannya ke laut, ia tak bisa terpisahkan dengan relasi tuhan dan alam, termasuk makhluk yang ada di laut.
Demikian pula halnya dengan ikan tui-tuing, ikan yang sejak dulu dijadikan sebagai salah satu objek mata pencaharian pada sebagian masyarakat Mandar ini memiliki rutual yang terkait dengan pengetahuan mantra, ilmu perbintangan, ilmu kelautan serta ilmu yang menyangkut tentang hal yang dianggap mistik (mitologi). Salah satunya adalah Paissangang (baca: mantra) dalam melakukan aktifitas menangkap tui-tuing. Masyarakat nelayan menjadikan mantra sebagai salah satu sarana pendukung untuk mendapatkan hasil yang banyak.
Terkait inilah muncul tradisi memancing ikan terbang dengan beramai-ramai masuk kedalam buaro (bubu). Mereka memiliki keyakinan bahwa Tui-tuing harus diberi spirit sehingga menangkapnya menggunakan mantra khusus. Mantra tersebut identik dengan seruan penyemangat tui-tuing untuk melakukan hubungan seks. Mantra khusus tersebut terdiri dari kata-kata yang berbau porno.
Ternyata, mantra dan buaro merupakan satu kesatuan dimana buaro merupakan alat tangkap dimajinasikan sebagai alat kelamin perempuan dan tui-tuing dimajinasikan sebagai Mara’dia (raja).