Oleh Gebryl Sri Dewi (Mahasiswa Universitas Sulawesi Barat, Kelas Peternakan A)
Tana Toraja, Sulawesi Selatan punya banyak budaya dan tradisi unik. Salah satunya adalah tradisi mayat berjalan, biasanya digelar dalam sebuah upacara adat yang disebut Ma’Nene. Upacara tersebut dilakukan dalam rangka mengganti pakaian mayat para leluhur, yang dilakukan oleh masyarakat Baruppu di pedalaman Tana Toraja.
Upacara Ma’nene dilakukan setiap tiga tahun sekali setelah musim panen yang jatuh pada bulan Agustus. Masyarakat adat Tana Toraja percaya jika ritual Ma’ Nene tidak dilakukan sebelum masa panen, maka sawah dan ladang mereka akan mengalami kerusakan dengan banyaknya tikus dan ulat yang datang tiba-tiba.
Sejarah Ritual Ma’Nene’ ini berawal dari seorang pemburu binatang bernama Pong Rumasek, yang datang ke hutan pegunungan Balla. Saat itu, Pong menemukan sebuah jasad manusia yang telah meninggal dunia dengan kondisi yang cukup memprihatinkan. Oleh Pong, jasad itu dibawanya dan dikenakan pakaian yang layak untuk dikuburkan di tempat aman. Semenjak saat itu, Pong berturut-turut mendapatkan berkah. Tanaman pertanian miliknya panen lebih cepat dari waktu biasanya. Saat dia berburu pun, Pong kerap kali mendapatkan perburuannya dengan mudah.
Dengan adanya peristiwa tersebut, Pong beranggapan bahwa jasad orang yang telah meninggal sekalipun harus tetap harus dirawat dan dihormati, meskipun jasad tersebut sudah tidak berbentuk lagi. Pong lalu mewariskan amanahnya kepada penduduk Baruppu, oleh penduduk Baruppu, amanah Pong tetap terjaga dengan terus dilaksanakannya ritual Ma’ Nene tersebut.
Sementara itu mayat-mayat utuh pertama kali ditemukan di sebuah gua di Desa Sillanang. Saat ditemukan, mayat tersebut tidak busuk. Uniknya, mayat utuh itu tidak dibalsem maupun diberi ramuan. Menurut masyarakat setempat, kemungkinan ada semacam zat di gua itu yang khasiatnya bisa mengawetkan mayat manusia.
Prosesi Ma’Nene’ diawali dengan mengunjungi lokasi tempat dimakamkan para leluhur masyarakat setempat yakni di pekuburan Patane di Lembang Paton, Kecamatan Sariale, ibu kota Kabupaten Toraja Utara, seperti yang dilansir dari kebudayaan. Sebelum dibuka dan di angkat dari peti, para tetua yang biasa dikenal dengan nama Ne’ Tomina Lumba, membacakan doa dalam bahasa Toraja Kuno.
Setelah itu, mayat tersebut diangkat dan mulai dibersihkan dari atas kepala hingga ujung kaki dengan menggunakan kuas atau kain bersih. Setelah itu, barulah mayat tersebut dipakaikan baju yang baru dan kemudian kembali dibaringkan di dalam peti tadi. Selama prosesi tersebut, sebagian kaum lelaki membentuk lingkaran menyanyikan lagu dan tarian yang melambangkan kesedihan. Lagu dan gerak tarian tersebut guna untuk menyemangati para keluarga yang ditinggalkan.
Dari Langit dan Bumi Lebih lanjut, tradisi Ma’ Nene erat kaitannya dengan konsep hidup masyarakat Toraja bahwa leluhurnya yang suci berasal dari langit dan bumi. Sehingga tak semestinya orang yang meninggal dunia, jasadnya dikuburkan dalam tanah. Bagi mereka hal itu akan merusak kesucian bumi yang berakibat pada kesuburan bumi.
Referensi dari Krisnadefam, 2021
Foto: RaiyaniM – Karya sendiri, CC BY-SA 4.0, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=100209986