Dr. Aco Musaddad. HM.
Di era pemerintahan Umar Bin Khattab, ada sebuah daerah di bawah kekuasaan Islam bernama Hums atau Hims ia dipimpin seorang gubernur yang bernama Sa’id Bin Amir. Kehidupan sang gubernur sangatlah miskin, setiap hari ia harus membuat adonan roti dan menjemur pakaiannya sendiri. Padahal di sisi lain tugas – tugas kenegaraan sebagai gubernur tentulah sangat banyak. Hal inilah sebagian penduduk memprotes sang gubernur. Caranya, mereka datang ke ibukota di Madinah dan melaporkan kondisi gubernurnya kepada khalifah. Lalu khalifah mengambil kebijakan dengan memberikan gaji kepada gubernur untuk membantu kinerjanya.
Namun, di saat datang utusan pemerintah untuk mengantarkan gajinya, gubernur yang shaleh itu justru berkata “innalillah wa Inna ilaihi rajiun”. Ia merasa mendapat musibah yang besar. Istrinya yang berada di dapur berteriak bertanya, apakah ada musibah yang datang?,
“Bahkan lebih buruk dari itu, ” katanya.
Telah datang dunia merusak akhirat kita! “
Sebegitu dalam kecintaanya terhadap akhirat, hingga dunia yang datang untuk membantunya dianggapnya musibah.
Kisah ini menggelitik kita untuk bertanya, bagaimana sebenarnya sikap seorang muslim terhadap kenikmatan dunia?
Merujuk kepada ayat al Quran maupun hadits dan sirah nabawiyah, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa “Dunia ini persinggahan, bukan tujuan, adapun tujuan sejati adalah akhirat ” sebagaimana firman Allah dalam surah al- An’am yang artinya :
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main -main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kehidupan akhirat itu lebih baik bagi orang -orang yang bertaqwa. Maka tidaklah kamu berpikir? ”
Orang yang menjadikan persinggahan sementara sebagai tujuan dan di saat yang sama melupakan tujuan akhiratnya.
Mempelajari pola hidup Nabi, Imam Ibnu Taimiyah pernah berucap dengan menggambarkan sikap Nabi terhadap dunia sebagai berikut. “La yaruddu maujudan wa la yatakallafu mafqudan ” yang artinya, Tidak menolak yang ada dan tidak memaksakan yang tiada.
Ini adalah sikap mental dan kepribadiannya tak terpengaruh dengan banyak sedikitnya harta yang dipunyainya. Jadi, kalau memang ada kenikmatan berupa barang yang mewah atau kekayaan tak perlu ditolak. Namun, jika tiba masa jalannya rejeki menyempit, lalu hidup terasa sulit, ia tetap survive, tidak lantas jadi mengeluh atau memelas.
Secara lebih luas, Allah SWT menyebutkan bahwa semua rejeki yang halal dan baik dalam kehidupan dunia ini memang disediakan bagi manusia sehingga manusia dipersilahkan mengonsumsinya.