Oleh: Riri Gosse, Penulis Buku Segiti Emas Destinasi Pariwisata Sulbar Marasa
Pelabuhan di Kabupaten Polewali Mandar
Terdapat beberapa pelabuhan di KSPP Kabupaten Polewali Mandar, diantaranya adalah : Pelabuhan Tanjung Silopo Letaknya di Mirring, Binuang, Polman, Sulawesi Barat. Sebagai pelabuhan pengumpul, memiliki 39 lintas pelayaran. Salah satu jalur pelayarannya ke Malaysia melalui rute Tanjung Silopo Polman – Lahad Datu Sabah Malaysia. Pelabuhan Labuang Letaknya di Labuang, Campalagian, Polman, Sulawesi Barat. Merupakan pelabuhan pengumpan dengan lintas pelayaran sebanyak 14 rute pelayaran. Pelabuhan Karama Letaknya di Tangnga-tangnga, Karama, Polman, Sulawesi Barat. Merupakan pelabuhan pengumpan dengan lintas pelayaran sebanyak 14 rute pelayaran.
Pelabuhan Pengumpan Lokal
- Dermaga Tonyaman
- Dermaga Pulo Battoa
- Dermaga Pulo Tangnga
Berdasarkan catatan sejarah dari masa silam, di Polewali Mandar pernah ada sebuah kerajaan bernama “Balanipa”. Bersumber dari Muhammad Ridwan Alimuddin dalam bukunya “Kota Tua” Majene, diperkirakan pusatnya berada di antara Desa Karama dengan Desa Tammangalle Kecamatan Tinambung. Di daerah sekitar desa tersebut terdapat pantai Galetto, diperkirakan sebagai lokasi pelabuhan Napo. Di masanya, melalui pelabuhan Napo, kerajaan Balanipa terhubung dengan wilayah luar.
Saat ini Kampung Karama termasuk salah satu produsen perahu “Sandeq” dan “Lipa’ Sa’be” (Sarung Sutera Mandar). Jika merajut catatan sejarah yang ada, “Sandeq” dan “Lipa’ Sa’be” erat kaitannya dengan jalur perdagangan yang menghubungkan Asia dengan Eropa melalui laut (Silk Road On The Sea). Istilah Jalur Sutera baru muncul pada abad ke-19, oleh seorang geografer berkebangsaan Jerman, Ferdinand von Richthofen.
Dilansir dari dari situs resmi UNESCO, ditetapkan pada 22 Juni 2014 jalan kuno sepanjang 5.000 Km dari Jalur Sutra yang membentang dari Tiongkok Tengah hingga wilayah Zhetsyu di Asia Tengah sebagai situs warisan dunia (World Heritag Sites). Rute yang dikenal sebagai Koridor Chang’an-Tianshan ini melintasi beberapa negara, mencakup Tiongkok, Kazakhstan, dan Kirgizstan. Menurut UNESCO, jaringan jalan yang dibentuk oleh Jalur Sutra keseluruhan memiliki panjang hingga 35 ribu Km. Beberapa rute-rute kuno tersebut telah digunakan selama ribuan tahun. Aktivitas perdaganagn di Jalur Sutra makin meningkat pada abad kedua SM. Menurut UNESCO. Jalur ini terus dimanfaatkan sebagai rute perdagangan utama dunia sampai abad ke-16.
Jalur Sutra merupakan jalur perdagangan laut-darat. Rute yang sering dilalui oleh pedagang di masa itu menghubungkan China dengan India melalui daerah Indonesia. Jalur yang melalui laut dari China dan Indonesia adalah Selat Malaka menuju India. Dari situ ada yang langsung ke Teluk Persia melalui Suriah ke Laut Tengah. Dari Laut Tengah ada yang menuju Laut Merah melalui Mesir dan sampai ke Laut Tengah. Indonesia melalui Selat Malaka terlibat perdagangan dalam hal rempah-rempah dengan membawa serta atau mempertukarkan barang atau komoditas, pertemuan manusia di Jalur Sutera juga membawa serta kebudayaan, khususnya antar kebudayaan Cina, India, Persia dan Roma. Demikian juga agama. Persebaran agama Islam dan agama-agama lain tak lepas dari perjalanan di Jalur Sutera.
Bersumber dari tulisan Muhammad Ridwan Alimuddin “Jalur Sutera dan Muasal Motif Kotak-kotak” dalam Majalah Online Mandar Untuk Nusantara Khusus Jalur Sutera Indonesia di laut, dimasa itu Mandar turut serta mengambil bagian. Setidaknya terhubung dengan perdagangan di kawasan Asia Tenggara, yakni dari Tumasik (Singapura), Malaka dan Padang ke kawasan timur Nusantara termasuk ke Mandar. Perdagangan atau keterlibatan Mandar dalam Jalur Sutera masih tergolong baru bila dibandingkan rentang sejarah Jalur Sutera itu sendiri.
Gelondongan benang sutera tiba di Makassar melalui jung (perahu Cina) yang datang tahunan atau lewat Batavia dalam jumlah kecil, kemudian sebagiannya diekspor Kembali pada paruh akhir abad ke-18, demikian catatan dalam buku tulisan Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450 – 1680. Jilid I : Negeri di Bawah Angin.
Kemungkinan pertemuan manusia di Jalur Sutera itu membawa serta pertukaran kebudayaan, terutama dengan meningkatnya permintaan terhadap sutera yang pada akhirnya menjadikan Makassar pada abad ke-17 dan Bugis pada abad ke-18, bangkit sebagai pengekspor pakaian terkemuka. Pakaian mereka mencapai suatu reputasi istimewa akan tenunannya yang halus dan kuat serta warna-warnanya yang cerah – terutama kotak-kotak yang disenangi oleh kaum Muslimin (Rouffaer 1904: 4; Forrest 1792: 79). Sutera ini diproduksi terus oleh Bugis Wajo dan Mandar (waktu itu masih termasuk dalam wilayah Sulawesi selatan) yang berlanjut hingga kini, seperti yang salah satunya terdapat di Kampung Karama, tidak jauh dari dermaga pelabuhan Karama. (Bersambung)