Oleh: Finni Oktavia, Mahasiswa Unasman
Ikan tuing-tuing atau juga dikenal dengan ikan indosiar merupakan salah satu kuliner khas yang begitu populer di Majene, Sulawesi Barat. Jika anda bertandang atau melewati Somba, Kabupaten Majene, jangan lupa singgah di pusat kuliner ikan tuing-tuing tersebut.
Penyajiannya baisa dipadukan dengan Jepa, kuliner khas Mandar yang terbuat singkong. Dilansir dari laman resmi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI bahwa ikan tuing- tuing awalnya merupakan menu khas Mandar, suku asli yang mendiami wilayah Majene.
Seiring berjalanya waktu masakan ini semakin dikenal dan disukai masyarakat luas bahkan pendatang. Ikan tuing-tuing adalah ikan terbang dari perairan Majene yang diolah dengan cara diasapi. Cara mengasapinya, dibersihkan sisik dan bagian dalam ikan terbang lalu dibungkus dengan daun kelapa. Berikutnya, panggang di atas tungku api yang terbuat dari tanah liat, proses pengasapan tidak memakan waktu lama.
Setelah ikan berwarna kecoklatan itu adalah tanda ikan sudah matang dan siap disajikan dengan tambahan sambal mentah atau yang berkuah. Ikan tuing-tuing memiliki cita rasa tersendiri dan gurih. Dijamin pasti menggoyang lidah para penikmatnya.
Masyarakat Majene biasa menikmati sajian unik ini dengan Jepa yakni menu pengganti nasi berbahan dasar singkong dan ubi. Jepa dijadikan makanan pokok para pelaut Mandar, saat melakukan pelayaran di laut lepas, mereka lebih memilih membawa jepa sebagai pengganti nasi karena mudah dibawa dan disajikan, serta bisa bertahan lama. Makanan ini juga memiliki kadar air minim (kering) sehingga tidak mudah basi.
Orang-orang Mandar, Sulawesi Barat masih menjaga budaya dan tradisi nenek moyang mereka dengan masih kentalnya kepercayaan kepada hal-hal mistik. Tradisi leluhur yang dikenal sebagai mappeussul (baca ritual) biasanya mereka lakukan sejak sebelum berangkat hingga berada di laut. Tradisi ini dilakukan utamanya karena mereka meyakini betul bahwa di laut begitu banyak hal yang sakral mistik, karena di luar kendali akal pikiran mereka.
Terlahir dari kesadaran bahwa terdapat hubungan yang mengkristal dan tak boleh dipisahkan antara sang pencipta dengan mahluk ciptaanya. Demikian pula halnya dengan ikan tuing-tuing, ikan yang menjadi salah satu ikon Sulawesi Barat dan dikenal sebagai ikan yang unik, sekaligus ikan yang dijadikan andalan wisata kuliner.
Menjadi kebanggaan bahkan identitas kedaerahan orang Mandar di pesisiran. Sejak dahulu, tuing-tuing menjadi objek mata pencaharian pada sebagian masyarakat Mandar. Selain menangkap ikan tuing-tuing para nelayan Mandar juga pada waktu-waktu dan musim tertentu sengaja melaut untuk mencari telur ikan tuing-tuing atau yang dikenal sebagai mattalloq. Akan tetapi,dari sekian banyak nelayan daerah wilayah Majene-lah yang paling dikenal sebagai masyarakat nelayan penghasil ikan tuing-tuing ini.
Dari laman mandarnesia.com pemburuan telur ini dilakukan oleh masyarakat pesisir di teluk Mandar. Musim ini berlangsung sekali dalam setahun dengan kurun waktu 3 sampai 4 bulan. Tuing-tuing di Mandar sangat diagung-agungkan sebagai mahluk yang memiliki derajat tinggi, bahkan mendapat perlakuan selayaknya seorang manusia atau dikenal dengan istilah dipamatau I na dzi pa makaka. Banyak yang menarik dalam proses pemburuan telur ikan tuing-tuing tersebut, mulai dari persiapan keberangkatan sampai para nelayan kembali ke daratan.
Saat angin timur berhembus pertama kali, para nelayan tidak akan langsung melakukan proses pemburuan,sebab dipercaya oleh masyarakat setempat pada waktu itulah tuing-tuing atau ikan maraqdia baru saja melakukan ritual meuriq (meuriq adalah ritual syukuran penyambutan kelahiran di usia kandungan 8 bulan dalam siklus kehamilan manusia).
Pada fase itulah para nelayan akan mempersiapkan alat-alat perburuan baik yang sifatnya tradisional ataupun moderen, serta logistik atau keperluan ransum selama melakukan perburuan di laut lepas. Barulah pada hembusan angin timur kedua, nelayan akan mempersiapkan hari yang baik untuk melakukan pemburuan . Konon pada hembusan kedua itulah, tuing-tuing sudah dalam proses melahirkan atau bertelur. Pada cerita inilah gambaran tentang tuing-tuing memang yang tak ubahnya seperti manusia seakan nyata.
Sebelum melakukan perlayaran untuk berburu, ada satu ritual yang harus dilakukan oleh para nelayan, yaiu makkuliwa. Semacam ritual pembacaan do’a terhadap ilahi, dengan lantunan barzanji serta do’a-do’a lainya sebagai ikhtiar permohonan keselamatan, dengan suguhan berbagai makan seperti sokkol, cucur, uleq-uleq (Bubur Kacang Ijo), loka tiraq (Pisang Raja), dan lainya dalam jumlah dan letak yang sudah ditentukan dengan ussul masing-masing.
Sebelum itu, punggawa atau nakhoda akan terlebih dahulu mencari hari yang baik untuk berangkat, dengan petunjuk tetua yang memiliki kekuatan spritual. Hal ini dilakukan juga sebagai bentuk ikhtiar agar tetap mendapat keselamatan mengingat pelayaran untuk berburu telur ikan tuing-tuing pada laut lepas adalah pekerjaan yang penuh resiko.
Foto Utama: My World Fisheries