Covid-19 telah mengubah banyak hal. Tidak hanya mengenai pola interaksi dan hubungan sosial lainnya yang diimbuhkan mesti berjarak, namun sikap orang-orang yang berubah dalam pandangan kesehatan. Memakai masker misalnya, atau cara kita berkumpul satu sama lain. Ada pergeseran secara gradual yang seolah tampak biasa.
Demikian pun pada pergumulan atau kebiasaan duduk bersama. Sepanjang tahun 2020 hingga awal 2022 ini, kata jaga jarak yang lebih awal diperkenalkan bus-bus Damri, seolah kampanye yang lambat laun menggerus kualitas pertemuan. Selama itu, bahkan pertunjukan karya sastra atau seni panggung pun berpindah dari suasana luring ke daring.
Apakah kualitas proses kreatif memberi pengaruh langsung pada daya karsa pegiat? Ini tentu saja memerlukan studi tersendiri, namun yang lebih terasa seperti kebiasaan sebelumnya, hal-hal yang berjarak apalagi dibatasi layar seolah amat mengurangi makna pertemuan. Walaupun telah amat banyak pengambilan-pengambilan keputusan strategis dapat diputuskan melalui perjamuan peserta di dunia daring.
Luring dan daring dua sisi yang makin mengakrabi kehidupan baru ini.
Pandemi telah berimbas pada learing loss. Seperti kata Mas Mendikbudristek yang mengartikan hilangnya pengetahuan dan keterampilan baik secara umum maupun spesifik atau terjadinya kemunduran proses akademik dalam guruinovatif.id yang mengutip tekno.tempo.co.
Pengaruhnya, misal pada peserta didik yang tidak mampu menyerap lebih optimal materi pembelajaran yang disampaikan secara daring, tingkat kepatuhan yang makin berkurang, dan penyelesaian tugas yang merosot.
Nadiem Makarim menyebut, sebelum pandemi kemampuan belajar selama satu tahun kelas 1 SD adalah 129 poin untuk literasi, dan 78 poin numerasi. Setelah pandemi angkanya berkurang signifikan, literasi menjadi 77, dan numerasi 34 poin. Berkurangnya kemajuan belajar akibat pandemi dalam satu tahun setara hilangnya pembelajaran atau learing loss selama enam bulan, sedangkan untuk numerasi hilang sekitar lima bulan (nasional.tempo.co).
Data ini dikumpulkan Nadiem dari 3.391 siswa SD di tujuh kabupaten/kota di empat provinsi sepanjang Januari 2020 hingga April 2021.
Catatan ini untuk memberi pengayaan perjamuan pegiat literasi se-Sulawesi Barat, bertajuk Reuni Universitas Alam Raya yang dipimpin rektornya, Aqba Tammalele. Acara ini akan digelar di T-Bink Kafe & Coffee Majene, Sabtu, 7 Mei 2022.
Apakah ini benar sebuah reuni yang mainstream itu, percayalah cendekian pun para sastrawan selalu dapat mengambil jarak berpikir yang majemuk. Nggak perlu pusing memikirkan mengapa, ini disebut sebuah reuni. Intinya perjamuan usai covid apalagi tradisi massiara usai lebaran tak lagi seperti dua tahun terakhir.
Penulis antara lain yang diundang bersama Bustan Basir Maras dan Umar Tayyeb Al-Qalam untuk memantik pertembungan pegiat literasi ini. Sebenarnya ini merupakan ramah tamah atau open house sederhana di rumah milik Ahmad Akbar, penyair Mandar asal Majene yang tumbak layarnya menjorok ke Teluk Mandar itu. Sesi ini paling tidak akan melumaskan banyak hal yang sepanjang tahun yang serasa beku dan memerlukan datangnya musim bunga.
Atau, anggaplah semacam hibernasi sepanjang musim pandemi, dan para pegiat menggelar tambur di sini. Gerakan literasi yang (akan) dilakukan pegiat di mana-mana, khususnya di Tanah Mandar ini bukan lagi soal lapak buku, atau jelajah destinasi secara standar untuk mengkampanyekan urgensi membaca atau transfer pengetahuan secara eksplisit dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kita sepertinya memerlukan strategi lebih adaptif dan model percepatan.
Berdasarkan data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) 2030 tentang Future Education and Skill Project, “Kita sangat perlu kembali melihat standar pendidikan kita dengan suatu kerangka berpikir yang menggabungkan pengetahuan dengan keterampilan berpikir kritis, kreatif, komunikatif dan kolaboratif.”
Apakah ini sekadar reuni sedia kala? Ataukah hanya sekumpul tawa renyah sahaja…