Haji dan Fenomena Sosialnya

Oleh: Burhanuddin Hamal
(Penyuluh Agama Islam Fungsional KUA Kec. Tinambung Polewali Mandar)

Para penyandang HAJI (oknumnya dan tidak semua) terkadang bangga bahkan ada yang sentimen bila titel haji sepulangnya dari tanah suci “tak dilengketkan” secara permanen di depan namanya. Yang kita tahu, Rasul sendiri tak pernah memperkenalkan apalagi memamerkan identitas hajinya, padahal bila dipikir-pikir Beliaulah sesungguhnya teladan sejatinya Haji.

Meski tak bermaksud men-justis negatif terkait kultur penggunaan gelar haji (khususnya di beberapa belahan Dunia plus hal ini sifatnya pribadi), namun masalahnya adalah jika dibalik sikap sentimen tadi tersimpan “ketidak-relaan” kalau tak ikut ketahuan sebagai yang juga sudah berpredikat haji. Parahnya lagi bila lewat titel Haji yang dibanggakan itu diam-diam menyelinap rasa sebagai yang keislamannya sudah berlevel atas hingga makin tak menemukan “hakikat kehajian” didalam berinteraksi sosial. Bahkan, tak menutup mungkin indikasi dari niat-niat tak bersinergi lainnya banyak bergentayangan.

Karena itu, problem kehajian seperti ini tentu saja harus dibenahi sedini mungkin sebab jangan sampai kita terlena menyimpan harapan sebagai yang hajinya Mabrur (diterima) namun ternyata Mardud (tertolak) dalam pandangan Tuhan. Terbuai dengan legitimasi Surga yang dijanjikan, padahal keutamaan itu diperuntukkan bagi mereka yang setia dengan capaian hajinya. Ini semua akibat dari fakta-fakta ketidak-istiqamahan dalam menepati janji-janji haji sebagaimana yang diprosesikan sewaktu berhaji. Dengan begitu, menjadi hal yang patut diwaspadai bila capaian peribadatan haji pada setiap tahunnya tak lebih sekadar perjalanan formalitas fisik tanpa isi.

Kewajiban berhaji (bagi yang mampu) sesungguhnya merupakan anugerah tertentu yang diperuntukkan Tuhan bagi hamba-hamba pilihan-Nya. Mereka yang dimaksud adalah sosok-sosok Muslim yang dengan keikhlasan hati berangkat ke Tanah Suci untuk menyempurnakan rukun keislaman, dan pulang membawa tanda-tanda kemabruran (peningkatan kepribadian didalam beragama).

Disamping predikat haji merupakan amanah Tuhan yang reputasi sosialnya penting dijaga dengan baik, juga konsistensi didalam merealisasikan rangkaian rukun-rukun Islam sebelumnya tak lagi menjadi fakta-fakta sosial yang “dipertanyakan”. Semua ini tentu saja merupakan cermin akumulasi dari pertanggung-jawaban moral ketaqwaan seorang haji.

Posisi haji sebagai yang terakhir dalam urutan rukun keislaman, filosofinya bukan sesuatu yang kebetulan atau tanpa alasan. Hal tersebut menyiratkan hikmah betapa kepribadian seorang penyandang Haji tak terlepas dari kemampuan mengimplementasikan nilai diri terkait rukun-rukun keislaman lainnya.

Karena itu, demi capaian spritualitas tersebut maka para calon jemaah haji (CJH) tidaklah cukup berbekal seputar materi ke-fikhi-an haji, kumpulan doa-do’a terkait serta akomodasi kesiapan perjalanan fisik semata. Hal yang juga tak kalah pentingnya adalah pemantapan psikologi haji plus etika personal yang bersinergi demi melahirkan sosok-sosok Muhajjin yang konsisten terhadap nilai haji dan moralitas sosialnya.

Pada ahirnya, klimaks identitas haji tersugesti ketika muatan kearifan lokal menyiratkan satu pesan filosofis yakni “Hajikanlah dirimu sebelum saatnya engkau berangkat ke tanah suci”. Statemen agamis ini mengandung motivasi positif bagi siapapun untuk belajar melakoni peran-peran KEPRIBADIAN HAJI sebelum melakukan rangkaian prosedur syar’i-nya ke tanah suci (perjalanan syariatnya).

Ushini Waiyyakum bitaqwallah, Wallahu a’lam bisshawab.