Peran Difabel dalam Panggung Politik 

Difabel atau disabilitas adalah salahsatu subkelompok marjinal yang sangat rentan. Dalam bahasa yang sederhana pengabaian terhadap mereka akan membuat mereka tersingkir. Persoalan menjadi semakin kompleks ketika kelompok difabel ini juga terasing oleh struktur politik yang ada, sehingga melahirkan mentalitas inferior dikalangan difabel. Selain itu, lingkungan (baik keluarga maupun masyarkat) yang tidak mendukung, seringkali menyulitkan mereka untuk berkembang. 

Difabel menjadi kelompok yang seringkali terabaikan dalam perhelatan politik. Padahal, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 telah menjamin secara jelas hak-hak politik bagi penyandang disabilitas, termasuk salah satunya memperoleh pendidikan politik. Ini tercantum dalam pasal 13 huruf F dari produk hukum itu. Sayangnya pendidikan politik yang ada seringkali belum mampu secara substansial menjangkau kelompok marjinal seperti para difabel. 

Menurut data UNESCAP jumlah difabel atau penyandang disabilitas di Indonesia sekitar 1% dari jumlah penduduk, mengacu dari persentase data tersebut, pada tahun 2014 jumlah penyandang disabilitas sebanyak 2.523.707 jiwa. Sedangkan data Kementerian Kesehatan menunjukkan jumlah penyandang disabilitas adalah 3.063.559 jiwa, sementara menurut data Kementerian Kesejahteraan Sosial jumlahnya mencapai 3.838.985 jiwa. Jika jumlah penyandang disabilitas secara kasar adalah 3.000.000 jiwa, maka sekitar 75%-nya, yaitu 2.250.000 juta, tercatat sebagai pemilih. Jika satu kursi di DPR-RI pada Pemilu 2014 setara dengan 223.000 suara, maka seluruh suara penyandang disabilitas sama dengan 10 kursi DPR. Tentunya Jumlah yang cukup berarti dan layak diperhitungkan oleh partai politik dan calon legislatif. 

Namun sangat disayangkan, hal di atas hanya hitung-hitungan kertas saja, secara realita tidak demikian adanya. Berbagai kendala sering dijumpai oleh para panyandang disabilitas untuk berpartisipasi dalam politik praktis, kendala yang dihadapi bisa berupa kebijakan, teknis, dan inklusifitas dalam sosial masyarakat. Robert (2001) menyatakan bahwa dalam sistem demokrasi, ikut serta dalam pemilihan umum merupakan hak politik bagi setiap warga negara.  

Hal ini menyangkut hak untuk menyelidiki/ menjajaki alternatif yang ada dan hak untuk berpartisipasi dalam memutuskan siapa yang akan dipilih. Hak Politik inilah yang kurang mendapat porsi yang wajar untuk diperhatikan oleh pemerintah dalam pemenuhannya sehingga berdampak adanya sikap apatis dan pasif bagi penyandang disabilitas untuk berpartisipasi di bidang politik baik sebagai pemilih, penyelenggara, dan orang yang akan dipilih. Hal ini sudah diatur pada pasal 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan bahwa penyandang disabilitas yang memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang sama sebagai pemilih, sebagai calon anggota DPR, sebagai calon anggota DPD, sebagai calon Presiden/Wakil Presiden, sebagai calon anggota DPRD, dan sebagai Penyelenggara Pemilu 

Penyandang disabilitas memiliki hak untuk terlibat aktif dalam politik atau berpartisipasi dalam politik. Sebagai bagian dari warga negara juga berhak mendapat kesempatan yang sama dalam pemilu, baik untuk dipilih maupun memilih tanpa diskriminasi. Artinya, penyandang disabilitas diberi kesempatan yang sama untuk mengapresiasikan hak-hak dasar, termasuk hak politik dalam pemilu. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas keterlibatan pemilih disabilitas dalam politik adalah indikator bahwa pelaksanaan Pemilu/Pemilihan telah menjunjung prinsip inklusif, yaitu sebuah kondisi dimana pelaksanaan Pemilu/Pemilihan telah memberikan kesempatan bagi semua pemilih untuk menggunakan hak pilihnya tanpa adanya hambatan agama, ras/etnik, gender, usia, kondisi fisik, dan wilayah (Nugroho & Liando, 2019:32-35).