FPRT | Front Pembebasan Rakyat Tertindas | Narasi Perjuangan Yang Tersobek | Bagian 3
Catatan Muhammad Munir
Munculnya aktivitas gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Sulawesi Selatan yang dimotori oleh Kahar Muzakkar, membuat daerah lain ikut terpengaruh dengan cara ikut bergabung, termasuk Mandar (Polemaju). DI/TII melebarkan pengaruhnya di tanah Mandar. diinisiasi oleh M. Tahir Rachmat.
Tahir melakukan perjalanan ke Palopo bersama Sunusi dan Jusuf (Anggota Staf DI/TII Mandar) melalui Malunda terus ke Palopo untuk bertemu dengan Kahar, yang waktu itu juga bertepatan dengan bulan Ramadhan.
Setelah pertemuan tersebut, M. Tahir Rachmat kemudian mendeklarasikan DI/TII wilayah Mandar pada 1 hingga 5 November 1953 di Kampung Pumbejagi (sekarang wilayah Kecamatan Tubbi Taramanu’-Polman).
Konferensi ini dihadiri oleh masyarakat dan kalangan ulama serta Organisasi Islam (Ormas) di Mandar seperti Muhammadyah Cabang Wonomulyo, Polewali Mamasa (M. Nurkhoiron dan Ruth Indiah Rahayu, 2012).
DI/TII masuk ke Mandar merupakan buah kerja utusan Kahar Muzakkar yang bernama Hasan Lakallu dan Usman Balo, dari Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan.
Kedua Kedua utusan itu datang menyampaikan amanah kepada pejuang-pejuang kemerdekaan di tanah Mandar, dan kemudian berhasil merekrut MT. Rachmat dari Balanipa Polmas. Belakangan, menurut Amran MT. Rachmat, Hasan Lakallu dan Usman Balo ini menjadi penghubung antara Andi Selle dengan Kahar Muzakkar.
Rachmat sendiri memiliki hubungan emosional dengan Kahar Muzakkar sejak menjadi siswa di Muallimin Yogyakarta. Bahkan keduanya sama-sama pulang ke Sulawesi dengan menggunakan lopi sande’ milik orang Mandar.
Dalam perjalanan pulang ke Sulawesi, kedua tokoh ini punya kenangan yang susah dilupakan keduanya. Saat itu perahu yang mereka tumpangi tenggelam di perairan Masalembo Jawa Timur.
Peristiwa naas itu, semakin mendekatkan kedua putra Sulawesi ini dalam ikatan persaudaraan. Betapa tidak, selama satu minggu keduanya terombang-ambing ditengah laut dan hanya berpegangan pada bangkai perahu sande’ yang mengantarnya dari Jogya.
Pemilik sande’ itupun nasibnya tak mereka ketahui sebab bangkai perahu yang dijadikan tumpuan Kahar dan MT. Rachmat itu tak mampu menampung ketiganya. Orang tua pemilik sande’ itu memberinya kesempatan untuk bisa bertahan hidup dengan berpegangan pada bangkai perahu. Kahar dan MT. Rachmat diselamatkan oleh Kapal Belanda dan membawanya ke Parepare.
Pada saat tiba, keduanya diinterogasi dan harus mendekam dalam penjara karena ketahuan bahwa mereka adalah alumni dari Muallimin Jogyakarta. Selepas dari penjara, Kahar dan Rachmat menuju ke Palopo untuk selanjutnya pulang dan menjadi guru di Majene.
Bahwa kedatangan Hasan Lakallu membawa amanat dari Kahar langsung ditanggapi oleh Rachmat. Terlebih, ia dan Kahar mengalami nasib dan perlakuan yang sama dari Kawilarang.
Pertemuan Rachmat dengan Kahar di Palopo pada tahun 1953 masih sebatas upaya pelampiasan rasa kecewa pada kebijakan pemerintah pusat sehingga pasukan eks-KGGS yang ditampung menjadi CTN dijadikan satuan kompi utuk membuat onar dan kekacauan di pelosok Sulawesi dimana pada saat itu, masih banyaknya bangsawan Luwu di Palopo yang pro Belanda.