Dinamika Ramadan

Oleh: Burhanuddin Hamal, Penyuluh Agama Islam Fungsional Kecamatan Tinambung

Fenomena Ramadan pada setiap tahunnya selalu mengindikasikan kulturisasi agamis yang apresiatif dan antusias. Kecenderungan ini sesungguhnya punya landasan rasional yang disugesti oleh statemen-statemen agama baik dalil Al-Qur’an maupun Hadits-Hadits tertentu yang sifatnya motivatif.

Pada sisi ini, Ramadan dipahami sebagai bulan kemuliaan yang bisa menghapus rangkaian dosa-dosa di masa lalu. Tak hanya itu, dengan izin-Nya maka keikhlasan beribadah di bulan suci Ramadhan dapat membuahkan bentuk-bentuk keberkahan sebagaimana yang menjadi harapan bersama. Keunggulan esensinya dibanding bulan-bulan selainnya, terdengar gencar dipromosikan. Karena itu, tidak mengherankan bila seiring masuknya Ramadan, umumnya kita seolah tersihir menjadi sosok yang tiba-tiba alim dan terlihat lebih taat beribadah dibanding hari-hari sebelumnya. Bagaimana tidak, di tataran keimanan dan psikologi manusiawi, pasti kita semua ingin meraih fasilitas rahmat, ampunan serta jaminan keterbebasan diri dari api Neraka didalam akumulasi perjalanan bulan suci Ramadhan (Hadits Nabi).

Meski demikian, antusiasitas terhadap kemuliaan Ramadan dalam cara pandang yang pertama ini tetap saja menyisakan kelemahan yang patut dikoreksi. Bukankah secara sosiologis, lakon-lakon kesalehan yang sebegitu intens kita jalankan selama Ramadan ternyata hanya mampu bertahan sebulan saja ?

Di sisi lain, mestinya juga kita pahami bahwa durasi waktu Ramadan yang meski sebulan itu justru diharapkan meninggalkan jejak-jejak positif di kenyataan diri kita masing-masing. Di tataran ini, esensi Ramadhan menginginkan grafik perubahan diri yang kualitasnya semakin membaik dari tahun ke tahun. Hal ini tentu mungkin terjadi bila prosesi puasa yang kita lakukan tak hanya berkenaan dengan persoalan menahan makan dan minum serta percampuran biologis, tetapi juga pengendalian seluruh unsur-unsur diri lainnya tanpa terkecuali. Puasa sebagai media pembelajaran menuju kemampuan mengendalikan diri tak hanya terkait dengan hal-hal haram tetapi juga pada perkara halal sekalipun.

Meski penjabaran persepsi yang kedua ini lebih menantang dibanding cara pandang sebelumnya, namun hal ini justru sejalan dengan defenisi Ramadan yang bermakna MEMBAKAR. Output dari “pembakaran diri” (pertobatan nasuha) inilah kemudian yang pada tataran sosialnya diharapkan “mengembalikan” kita pada kualitas fitri natural.

Seperti yang terlansir dalam muatan QS. Al-Baqarah: 183, Ramadan dalam cara pandang kedua ini lebih mengorientasikan manusia pàda pencapaian taqwa yang realitasnya permanen (bukan musiman). Hal senada juga Nabi sabdakan “Bertaqwalah kepada Allah di manapun kamu berada, iringilah keburukan dengan kebaikan niscaya ia akan menghapusnya, dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Ahmad dan Tudzmudzi). Dengan begitu, demi konsistensi nilai Ramadan maka ketaatan pribadi yang berdampak pada kesalehan sosial diharapkan tercermin pada semua skala ruang dan putaran waktu kehidupan.

Akhirnya, meski berbeda antara capaian “orientasi sesaat” dengan “efektifitas jangka panjang” terkait pemanfaatan urgensi bulan Ramadan namun kedua persepsi di atas logis terjadi berdasarkan tingkatan teori dan kemampuan pengamalan para pelaku puasa. Terkait hal ini pula, ketika muatan ritualisasi puasa bertemakan “pengendalian diri” plus Idul Fitri menjadi “ikon perayaan kemenangan” maka dimanakah esensi dan bukti-bukti kemenangan itu jika pasca Ramadhan, otoritas nafsu-nafsu ilegal pun kembali menguasai ?
Kemana pula implementasi makna Ramadan jika hanya sebulan penuh melakoninya dalam kesalehan namun setelah itu, satu persatu dari ragam kejahatan sebelumnya “sengaja” kembali kita eksiskan?…..

Usikum wanafsi bitaqwallah, Wallahu a’lam bissawab.

Ilustrasi: pesantren.id