Cerita Yani yang Jomblo dan Meledaknya Data Pasien Covid-19 di Sulbar

Laporan : Karmila Bakri

Sebutlah namanya Yani, nama ini samaran sebagai kesepakatan yang dibangun sebelum kisah ini online. Puasa kali ini terasa berbeda, dengan puasa tahun lalu, anda pasti merasakan? Tapi rasa gadis remaja usia 23 tahun ini, bernama Yani tetap sama tidak pernah berubah, sebab tahun lalu dan tahun ini, masih tetap jomblo. Namun, rasa jomblonya semakin nyesak, sebab ada Si Corona jadi penghalang. (24/4/2020)

Rasa jomblo yang dialami Yani, tentu tidak sehebat rasa mewabahnya pandemi Covid-19, kecemasan atas kejombloan Yani, bisa ditumpahkan lewat puisi, goresan curhat, di tiap postingan medsos, plus sahabat pasti jadi obat kesunyian hati, dan sesekali dipuaskan dengan berjemur di pantai atau nanjak ramai-ramai di gunung.

Di tengah pandemi covid-19, rasa jomblo Yani mau ditumpahkan ke mana? Physical Distancing, Stay Home, PSBB menjadi pilihan di masa-masa sekarang ini.

Hati senantiasa diuji, ujiannya full, mampu tidak jiwa menahan, untuk tidak berkumpul atau beramai-ramai melingkar, dan tetap tinggal di rumah, jika tidak ada hal terlalu penting di luar rumah.

Seketika berbunyi dering telfon WhatsApp di HP Yani , “Halo Yani, ikutan yuk tarwih bareng, nanti malam di kampung aku, ada tetangga hendak melaksanakan sholat tarwih, jamaahnya kita-kita para tetangga, yah paling banyak 20 orang, kalau mau, aku jemput nanti di rumahmu, ” kata Mita, salah satu sahabat terbaik Yani.

“Eh, kau ini berani sekali, namanya jaga jarak, yah tetap jaga jarak dong, ingat kita dilarang salat berjamaah, agar terhindar dari penularan Covid -19, kan apa bedanya salat jamaah di Masjid dan di Rumah,” jawab Yani.

“Eh, sayang, yang masalah itu kan bukan Masjid atau rumah, tapi berjamaah nya, ingat yah berjamaah nya, kau ini cantik-cantik tapi buntu, ” sambung Yani.

“Jadi, kau tak mau ikut jamaah denganku ya? ” Kembali Mita merajuk.

“Pokoknya tidak Mita, maaf kali ini kita tidak sependapat, silahkan kalau Yani mau, tetap berjamaah di rumah tetanggamu, sudah dulu ya, aku mau lanjut bantu mama, buat menu buka puasa, ” tutup Yani sambil sedikit menggerutu, jemarinya tetap lihai mengupas kulit buah melon.

Goncangan dahsyat, tiba-tiba memenuhi berada medsos, jelang saat berbuka puasa pertama. Yani pun dengan sigap panik, menit-menit saat berbuka, menatap layar hand phone, mata melotot, dahi berkerut, di depannya sudah tersaji Es Buah, Pisang Ijo, dan 9 biji kurma.

“Astaga Sulawesi Barat meledak ke angka 33, tambahan kasus 25 positif, ”  cemas terpancar di wajah Yani. Kecemasan semakin bersarang dibenak Yani, hingga tak terasa jadwal berbuka dilewatkan beberapa menit.

Rasa jomblo Yani berbeda di tahun ini, kecemasan bertambah, akibat pandemi Covid-19, Yani tidak bisa lagi ngabuburit bareng sahabat, nggak bisa lagi bukber, dan nggak bisa lagi tarwih bareng.

Di ruang tamu Yani, masih tetap memesrai HP, wajah berkerut menjajaki pemberitaan lewat portal online. Sebelum men-share, penting baginya memerhatikan dengan saksama, apakah data-data yang dikonsumsi itu fakta, ataukah hoax.

“Ya Rabb, betul kasus di Provinsi Sulawesi Barat bertambah jadi 33 Kasus,” celoteh Yani sendiri di ruang tamu, berita di portal online itu pun, langsung dishare.

Suara ngaji pun terdengar dari kamar sebelah, sontak Yani melirik jam dinding, “Astagfirullah sudah berbuka, sudah lewat 10 menit, “. Yani pun langsung mengeksekusi minuman es buah segar, dan pisang Ijo , tentu tidak lupa baca do’a berbuka puasa, dan segera beranjak melaksanakan ritual 3 rakaat.

Sehabis sholat, berita ledakan kasus pun Yani share ke nomor Wa Si Mita, tidak lama kemudian Mita menelfon balik.

“Yani, serius itu berita yang kau bagikan ke saya, ” suara pecah dari telfon WA.

“Eh liat baik-baik sayang, itu data valid dari Dinas Kesehatan Sulawesi Barat, bertambah 33 kasus, 29 dirawat, 2 Isolasi mandiri, 1 sembuh, 1 meninggal, ” jawab Yani.

“Itu Kabupaten Mamuju, Mamuju Tengah, Majene, dan Pasangkayu, eh Kabupaten Polman kan masih zero, masih zona hijau, pula” balas Mita.

Yani pun jadi nggak mood ladeni sahabatnya ini, dia pun berupaya menjawab sebijak mungkin, sesekali menghela nafas, berusaha menahan amarah.

“Mita sayang, memang sih Kabupaten kita masih zero, tapi pertanyaan sederhana saya, apakah sebelumnya kabupaten-kabupaten itu tidak pula zero dari awalnya?,” ungkap Yani.

“Ini virus sayang, bukan kue onde-onde, lantas kalau kita menganggap kabupaten kita masih zona hijau, apakah kita harus seenaknya melabrak aturan? Ingat, kita justru harus semakin ekstra hati-hati, meningkatkan gerakan pencegahan, ” Yani kembali menghela nafas pelan-pelan.

“Sudah dulu ya sayang, ingat Tuhan Maha Melihat pergerakan ibadah kita, di bulan suci ramadhan tahun ini, masjid-masjid di tutup, nikmatilah indahnya beribadah di rumah,” tutup Yani.

Kecuplah Tuhan lewat kesunyian, sungguh Allah Maha Mendekap hambanya, mesrailah ibadah lewat ruang kamar, meski sunyi, yakinlah Allah Maha merangkul, tiap hamba yang bertafakkur.

Mungkin selama ini kita asyik terlena, menampakkan ibadah-ibadah salat  jamaah kita, hingga sedetik langsung viral, sebab jemari, tiada pernah diam menggenggam HP dalam sehari.

Kuatkan batin, ibadah sosial menjadi pemantik, di tengah pandemi covid-19, rasa kemanusiaan semakin dipertajam, bukan malah memelihara rasa jomblo, sampai depresi menyerang.

Sesekali tengoklah tetangga kita, sekeliling rumah, apakah periuk-periuk nasinya terisi? . Mari merasakan keresahan saudara-saudara kita, tentu kehadiran Si Corona, memberikan dampak sosial dan ekonomi luar biasa.

Tidak semudah membalikkan telapak tangan, penanganan Covid-19, tidak sebatas dipandang pencegahan dari sisi medis, namun penyakit-penyakit kelaparan harus senantiasa dicegah sejak dini.

Pembatasan sosial menjadi ujian sekaligus ancaman, jika rasa keadilan sosial dan kemanusiaan lenyap. Saling memanusiakan penting, bahu-membahu, bergotong-royong, tetap harus dibumikan. Namun, jangan pula memelihara rasa kecemasan berlebihan, menghadapi Si Corona. Menjaga sistem imun penting.

Tetaplah memakai masker ketika keluar rumah, jaga jarak, cuci tangan,penuhi suplemen imun, dan terpenting tetap suburkan gerakan tolong-menolong. Puasa tiada berkah tanpa keseimbangan ibadah sosial.

Ilustrasi : freepik