Oleh Adi Arwan Alimin
TUKANG kayu yang tinggal di ujung kampung itu, saban hari sebelum mulai bekerja pasti menyeruput kopi dan kudapan buatan istrinya. Sebuah workshop, atau katakanlah bengkel kerjanya berada di sisi rumah kayunya yang bertiang. Kepul kopinya meruar hingga membuat udara berasa robusta campur gula aren. Itu fragmen yang terus diputar tanpa jeda iklan setiap hari.
Kadir namanya, dia bukan pegawai negeri sipil atau karyawan perkebunan seperti sebagian besar warga. Dia tamatan STM jurusan perkayuan yang memungkinkannya memiliki keterampilan, bukan teknik semacam warisan yang diturunkan ayahnya, yang juga tukang kayu. Bila ayahnya dikenal sebagai sando boyang dan terkenal melewati batas desa, Kadir sedang menjadi seorang tukang kayu yang tak lagi menggunakan pakem tradisional.
Tiada lagi banyak upacara untuk memulai setiap pekerjaannya. Ketamnya sudah berhubung ke listrik, bukan lagi kattang yang harus didorong sekuat dua lengannya.
Bila pagi mulai sebahu, bengkelnya akan mulai riuh. Bunyi ketam listrik, atau pukulan berirama dari palu di tangannya seperti lonceng yang mengisi kisi-kisi udara. Orang-orang di kampungnya sudah paham dan hampir saja menghapal, bagaimana Kadir memindahkan daya yang berasal dari pikirannya hingga menjadi kumpulan energi dari otot bisep. Bunyi paku yang dilindas palu bahkan kadang mengirim kilatan berupa sembur kecil api jika dentum itu menghantam lunas kayu yang kukuh.
Dia memilih pekerjaan ini bukan karena tak memiliki peluang di tempat lain. Namun dia merasa profesi itu sangatlah penting bagi keluarganya, kakeknya juga seorang tukang yang di zaman Hindia Belanda telah pandai pada urusan urat kayu. Begitu ayahnya menjadi tukang kayu, yang sanggup membuat model lemari apapun, bahkan rumah panggung pesanan bangsawan raja, pekerjaan ini seolah-olah hanya milik nasab Kadir.
Tak ada tukang kayu seperti keluarganya yang mampu bertahan lama, paling tidak hanya beberapa bulan, dan mereka akan segera menjadi orang suruhan di kebun-kebun sawit. Orang-orang menyakini setiap pekerjaan memiliki garis tangan yang mesti dipercaya. Kadir kini menjadi tukang paling terpandang. Nilai tawarnya kian melambung melampaui bubungan rumahnya sendiri.
“Tapi pekerjaan ini hanya akan sampai di generasi saya,” gumannya sendiri.
Kadir seolah mempercayai ungkapan bahwa setiap pekerjaan atau bisnis hanya akan mampu bertahan pada generasi ketiga, dan itu berarti di fase di mana Kadir mulai berumur setengah abad. Ayahnya masih ada, kecuali kakeknya yang berpulang beberapa tahun lalu.
Anak pertamanya telah bersekolah di sekolah tinggi melewati ijazah STM Kadir, anak keduanya pun bercita-cita jadi aparat berloreng. Kadir tidak pernah mengarahkan mereka mau dan hendak ke mana, yang penting masa depan mereka tidak lagi menyandang status sebagai keluarga tukang kayu. Dia ingin di ruang tamu keluarganya bertengger foto wisuda atau dokumentasi pendidikan dan latihan yang berdiri bersusun kursi.
Kadir hendak mengubah gelembung cerita yang pesiar di kampungnya selama setengah abad hanya seputar keluarga tukang kayu. Bukan tak ingin disebut keluarga tukang kayu lagi, namun dia menyadari keterampilan itu tak akan diturunkan ke siapapun.
Hari-harinya sibuk. Beragam jenis kayu menumpuk atau berdiri di bengkelnya. Sebentar lagi kayu-kayu itu akan diubahnya menjadi karya, tidak butuh waktu lama untuk mengolah beragam jenis kayu ini menjadi kursi, meja, lemari, kusen pintu, jendela atau kitchen set.
“Apa yang paling pak Kadir sukai?” Tanya seorang wartawan muda yang mewawancarainya.
“Sepertinya sebuah kursi, kadera.” Jawabnya sambil duduk di sebuah kursi yang belum jadi.
“Mengapa?”
“Hmm, itu menarik saja bagi saya.”
“Kursi apa yang paling mahal yang pernah bapak buat?”
“Kursi dari bonggol jati, itu dibuat utuh dan cukup lama saya bikin.”
Kursi itu pesanan seorang pengusaha yang tinggal di kota. Kabarnya, hendak dijadikan hadiah bagi kawannya yang akan berlaga di pemilihan kepala daerah. Jika sobatnya itu memenangkan pemilihan gubernur, kursi terbaik dari kayu jati itu akan dibopongnya langsung. Dia memesan pada Kadir sebuah kursi jati dengan toping kepala elang.
Pikiran Kadir menumpu pada bantalan kayu yang akan diolahnya. Kayu itu dibawa truk saking besarnya. Pohon jati ini ditebang dari hutan berjarak puluhan kilometer dari rumahnya. Perlu tukang senso khusus untuk menumbangkan pohon yang memerlukan pelukan tiga orang dewasa itu.
Pemilihan kepala daerah yang sampai di kepala Kadir seperti keriangan yang tak usai meributkan apa saja. Live debat kandidat yang ditontonnya melalui smartphone sungguh tak memuaskan benaknya. Kadir berharap gubernur yang terpilih mereka yang mampu memperdebatkan pikiran yang dituangkan dalam visi, misi dan program lebih padat karya. Janji-janji yang ril saja, pikirnya.
Sebagai tukang Kadir memerlukan pemimpin yang kuat seperti kaki-kaki kursi. Puluhan cangkir kopi tanpa gula telah tandas, tetapi pikiran Kadir justru saling menumpu karena kadera yang akan diukirnya itu kelak akan diduduki kandidat yang selalu disebut memenangkan survei. Diafragma Kadir seperti saling menuding hingga sistem napasnya ceguk, ini seperti mengirim rasa sesak yang menjangkau hatinya. Kadir merasa sangat kurang nyaman.
Berulang hari dia menopang pikirannya, kadera yang akan dibuatnya bukanlah kursi biasa-biasa saja. Kursi itu akan menjadi dudukan salah seorang kandidat yang diprediksi bakal memenangkan kandidasi tahun ini. Kadir memerhatikan kedua tangannya yang telah menghasilkan karya tak terhitung. Tapi kini, seperti ada jengah mengejarkan kadera itu.
Baru kali ini dia tak pernah membincangkan pesanan orang kaya itu pada siapapun. Sebelumnya, pada pesanan yang lalu, dan dahulu Kadir suka membahas order yang dianggapnya akan makin menebalkan martabatnya sebagai tukang kayu paling terpandang.
Kini tangannya memegang sebuah sketsa berupa gambar kursi yang dipesan orang kaya dari kota itu. Disertai foto sahabatnya yang beberapa hari ini terus dicermati Kadir. Dari sisi mana dia akan memulai menetak kayu berlarik itu. Kadera jati ini akan ditetaknya sebentar lagi, namun sudah berapa cangkir robusta berpindah melewati tenggorakannya. Itu seperti elemen paling utama sebelum menyentuh bahan baku.
Kadir mengernyitkan dahi, bagaimana dia akan memulai mencipta karya yang bernilai estetik dan fungsional itu. Dengan pahat, dia perlahan menyayat permukaan kayu. Pengkerot, gergaji kayu, ladik, amplas, batek atau parang, kompresor, kuas dan spet suntCeerkan menyertai ritual itu.
Kadera ini akhirnya jadi. Tapi tak berkepala elang seperti pesanan orang kota itu. Entah sebab apa, Kadir justru membuat kepala kursi dengan sapuan ukir yang berubah menjadi topeng. Raut muka sahabatnya pemesan kursi itu merah seperti kepiting rebus.
“Kadir, kursi macam apa ini!”
Walau bersungut-sungut, kadera jati itu tetap dibawanya. Entah diantar ke mana. (*)
Makassar, 4 November 2024
Kadera dalam bahasa Mandar berarti kursi.
(Adi Arwan Alimin, wartawan/penulis buku, kini menetap di Mamuju)
*Cerpen ini terbit di Harian FAJAR Makassar di Halaman Budaya edisi 10 November 2024