Pada saat yang bersamaan, beberapa pemuda Mala’bo, Bambang dan Salukonta membentuk organisasi militan dengan nama Pemuda Pancasila, yang mungkin (?) berafiliasi ke DI/TII menurut kecurigaan pasukan Badak Hitam. Masih dalam keadaan marah akibat terbunuhnya teman-teman mereka di sekitar Majene, anggota pasukan Pemuda Pancasila ditangkap dan dibawa ke Mala’bo.
Sementara itu, beberapa orang penduduk disuruh membuat lubang di dekat jembatan Kampinnisan berjarak 1 km dari Mala’bo. Rupanya lubang berbentuk kuburan massal tersebut dibuat untuk tempat mengeksekusi anggota Pemuda Pancasila yang tertangkap.
Alhasil ada 13 pemuda yang ditangkap antara lain: Elia Makaringi, Melkias Toling, Elia Paebang, Pilipus Patimang, Soleman Patimay, Urbanus Mure’, Nangka’ dan 6 pemuda lainnya. Ketiga belas pemuda ini diikat tangannya dan dinaikkan ke mobil truk tentara. Disuruh berbaring di lantai mobil truk, kemudian ditutupi terpal sementara para tentara duduk diatasnya.
Di dekat jembatan Kampinnisan, 13 pemuda malang ini diturunkan ke tepi lubang yang telah disiapkan dan disuruh berdiri di tepi lubang kedalaman sebatas dada mereka. Mereka ditembak satu persatu menggunakan senapan laras panjang LE dan jatuh ke lubang. Kemudian seorang tentara yang memegang senapan semi otomatis Sten menembak kembali dengan rentetan ke arah tubuh pemuda – pemuda yang telah jatuh ke lubang itu. 30 butir peluru dalam magasin sten tersebut habis digunakan untuk menyiram para pemuda di lubang. Selanjutnya tentara yang memegang senapan LE menusuk tubuh pemuda malang dalam lubang dengan bayonet.
Kejadian ini disaksikan oleh seorang pemuda bernama Demas Silo bersama ayahnya dari atas bukit dekat jembatan Kampinnisan. Setelah tentara meninggalkan tempat eksekusi itu, Demas bersama ayahnya menyaksikan ada yang bergerak keluar dari dalam lubang kubur tersebut dan turun ke tepi sungai Mamasa. Ia terlihat mencuci darah dari tubuhnya, ia selamat. Kemudian pemuda itu berenang menyeberangi sungai Mamasa dan menghilang ke dalam semak-semak. Dikemudian hari pemuda itu diketahui bernama Nangka.
Malam harinya dibawah ancaman tentara, beberapa penduduk ditugasi menimbun lubang yang kini berisi 12 mayat. Untunglah bahwa pasukan Badak Hitam yang terkenal ganas tersebut tak sampai setahun bertugas di Mamasa. Pasukan ini akhirnya meninggalkan Mamasa dan digantikan oleh pasukan Tengkorak Putih dari Batalyon Siliwangi pada awal tahun 1953. Salah seorang anggota pasukan Tengkorak Putih asal Ambon bernama Latuheruw menikahi Ludia Molle. Bapak Latuheruw dikemudian hari, yakni pada tahun 1960-an sempat melatih pasukan OPR-PUS.
(BERSAMBUNG)