Bn. 710 Andi Selle dan Petaka Bagi Masyarakat Mandar

Dokumen Andi Amran MT. Rachmat
Dokumen Andi Amran MT. Rachmat

Albert Allo (2015) menulis bahwa di daerah Kabupaten Mandar pada masa CTN terbentuk pula pasukan CTN Mandar. Ketika Kahar bersama pasukan CTN masuk hutan memberontak dan berafiliasi ke DI/TII, pasukan CTN Mandar terpecah. Kompi CTN pimpinan M. Tahir Rachmat bergabung ke DI/TII sedang pasukan S. Mengga (mantan Bupati Polmas) bergabung ke TNI. Pasukan S. Mengga ini dikenal sebagai pasukan Mandar Baru dan menjadi bagian dari Batalyon G (002) Pare-Pare yang saat itu dipimpin oleh Ahmad Lamo (mantan Gubernur Sulsel). Pasukan Mandar Baru inilah yang pada masa pergolakan melawan Batalyon 710 ikut membantu rakyat Mamasa khususnya pasukan OPR-PUS.

Pada saat pasukan Badak Hitam bertugas di Mamasa, di Tana Toraja (ketika itu masih bergabung dalam Kabupaten Luwu’) keamanannya dikendalikan oleh pasukan Batalyon 720 Andi Sose. Dalam Batalyon 720 pasukan Kompi-2 dipimpin oleh  Frans Karangan putra asli Tator dan pasukannya yang lebih dikenal dengan nama Kompi Frans Karangan.

Di tahun 1952 itu dibuka kesempatan bagi anak daerah yang berpendidikan untuk menjadi tentara. Banyak siswa SGB (Sekolah Guru Bawah) Makale, asal Mamasa masuk tentara di antaranya Agus Thumo’ (Pana’), Welem Tane’ (Sodangan), Barnabas (Mehalaan), dan Jonatan Bokko’ (Rante Palado).

Karena masih perlu tambahan pasukan  maka Andi Sose menugaskan Welem Tane’, Barnabas dan Yonathan kembali ke kampung masing-masing untuk merekrut pemuda yang mau menjadi tentara. Mereka sempat melatih pemuda sekitar 80-an orang. Mereka bertiga berhasil mengajak kurang lebih 80 pemuda dan diantar ke Tator dengan berjalan kaki.

Pada saat yang bersamaan, di sekitar Majene beberapa anggota pasukan Badak Hitam terbunuh oleh pasukan pemberontak DI/TII. Pasukan Badak Hitam mengganas dan setiap gerakan rakyat yang mencurigakan mereka basmi. Ke-80 pemuda asal Bambang, distrik Mambi yang sedang menuju ke Tator ikut dicurigai sebagai gerombolan pengacau oleh Komandan Badak Hitam di Mamasa. Waktu melewati Pos penjagaan di Tandung, mereka di cegat tidak boleh melanjutkan perjalanan ke Tator atas perintah Komandan Badak Hitam.

Mereka diperintahkan harus kembali ke Mamasa. Tanpa curiga para pemuda ini dengan polos hati kembali ke Mamasa karena mengira mereka akan diangkut ke Tator menggunakan mobil tentara. Mereka masuk kota Mamasa, berbaris dengan rapih dari Litak Sakka’ dan dengan penuh semangat sebagai calon tentara, mereka menyanyikan lagu Malioboro: “Riuh gemuruh, gilir berganti ……….. “.    

Di kota Mamasa mereka menghadap ke komandan Pos Badak Hitam (di Kantor BPS-GTM sekarang). Sersan Ishak Fakih keluar dari pos dan bertanya  kepada pemuda asal PUS yang sedang berbaris rapih: “Siapa di antara kalian pelajar SGB Makale ?”. Welem Tane’ dari Sodangan, Jonathan Bokko’ dari Rante Palado dan Barnabas asal Mehalaan angkat tangan. Ketiganya adalah anggota pasukan Kompi Frans Karangan.

Mereka disuruh keluar dari barisan menghadap Sersan Ishak Faqih. Sersan Ishaq Faqih kemudian menempeleng ketiganya di depan pemuda lain calon tentara. Jonathan Bokko’ marah dan meninju belakang kepala Sersan Ishak Faqih sambil berteriak: “Kami juga pejuang“.  

Ke-80 pemuda calon tentara tadi termasuk Welem, Jonathan dan Barnabas ditangkap dan dipenjarakan di penjara Mamasa (dekat To’pao sekarang) dengan tuduhan mereka bagian dari gerombolan pengacau. Tanpa melalui proses pengadilan, malam hari itu juga, Welem Tane’, Jonathan dan Barnabas ditembak mati oleh pasukan Badak Hitam di Tangsi tentara dipinggiran sungai Mamasa dekat kampung Randanan.

Menurut kabar dari penduduk Mamasa yang berada di sekitar penjara, setiap malam ada saja pemuda tersebut yang dieksekusi mati tanpa melalui pengadilan.

Di antara ke 80 pemuda yang dipenjarakan itu terdapat Welem Tupa’langi’, anak dari Pendeta M. Tupa’langi, seorang guru Injil di Galung-Galung. Mendengar anaknya ditahan tentara Badak Hitam, ia menghadap komandan dan menanyakan mengapa anaknya dipenjarakan. Rupanya Welem, anaknya sudah dieksekusi mati.

Pendeta Tupa’langi’ marah besar dan bertengkar dengan komandan Ishak Faqih. Pendeta Tupa’langi’ pun ditangkap, ditahan dan ditembak mati beberapa waktu kemudian di Pa’lenta’ Tatoa’. Peristiwa ini tidak pernah diungkapkan, baik oleh pemerintah maupun oleh keluarga untuk mengusutnya.