Reporter: Moch. Ferdi Al Qadri
TUJUH sepeda motor meninggalkan kota Mamuju. Pagi itu, Sabtu (10/5/2025), langit cerah mengiringi perjalanan kami menuju SMP N 7 Kalukku. Perlawatan berpamrih kemah dan literasi.
Jalan panjang warna hitam kami jajal hanya sampai sebuah jembatan kecil di jalur dua mengarah ke pantai Lombang-lombang. Di pinggiran sisi kanan jalan terpancang papan petunjuk. Bila mengikutinya akan tiba di Puskesmas Ranga-ranga, Pamulukang, Kalukku. Sampai jumpa jalan “bagus”.
Tak ada niat singgah, apalagi berhenti di Puskesmas yang areanya lebih luas dan bangunannya lebih megah dari kebanyakan Puskesmas di kota Mamuju. Mulai dari situ medannya berubah tanah kering berbatu. Perjalanan yang sebenarnya baru dimulai.
Menurut Google Maps, tujuan kami, SMP N 7 Kalukku yang ada di dusun Rumbia Apo, berada di ketinggian hampir 500 mdpl. Selain jauh, jalannya menanjak dengan kemiringan lebih dari 45 derajat. Ditambah lagi banyak “jerawat” di sekujur badan jalan.
Tak semuanya berani menunggangi kuda besi sampai ke pemberhentian terakhir. Salah seorang pegiat literasi dari Manakarra Book Club (MBC) memilih memarkir motornya lebih awal. Ia melanjutkan perjalanan bersama dua guru SMP N 7 Kalukku, Fatiah dan Risma, yang turut berjalan kaki setelah menitipkan motornya di salah satu rumah warga.
Mendaki Gunung, Lewati Lembah
Sembari menunggu jemputan dari beberapa murid, ketiganya meneruskan perjalanan menyusuri lereng gunung di sebelah kanan dan lembah di sebelah kiri. Pemandangan alam yang indah, hijau sejauh mata memandang.
Dari Fatiah, kami mendapat keterangan bahwa kebanyakan murid SMP N 7 Kalukku berjalan kaki menuju sekolah. Beberapa rumah siswa ada yang berjarak 7 km (bahkan lebih) dari sekolah. Tak jarang, bila ada kegiatan tambahan di sekolah, mereka tiba di rumah saat matahari sudah terbenam.
Kenyataan itu menampar pipi kami, orang-orang kota yang sekolahnya dekat rumah. Kalaupun jaraknya lebih dari “dekat”, tetap saja tak ada kesulitan yang berarti. Datarannya rata, jalanan beraspal, diantar orang tua, atau bagi yang rejekinya lebih bisa bawa motor sendiri.
Kemudahan mengakses pendidikan cap sekolah adalah rejeki bagi anak-anak penghuni kota. Namun, bukan berarti, “jeleknya” jalanan menyurutkan gairah belajar anak-anak di desa, terutama yang tinggal di pegunungan.
Sambutan mereka pada kami, kakak-kakak dari “bawah”, amat menyenangkan. Kami pun dibuat membara oleh semangat mereka, seperti sekeranjang sekam kering ditaburi sesekop arang panas.
Sakinah, pegiat MBC juga pendiri TBM Indonesia Membaca, sebagai pemimpin seluruh rangkaian “Merayakan Buku di Rumbia Apo”, memulai dengan kumandang: “Mau apa kita hari ini?”
Mereka kompak menjawab: “Bersenang-senang!” (*)