Oleh: Ihsan Zainuddin
Hampir setiap malam di bulan Ramadan kita mendengarkan ceramah Tarawih. Biasanya akan banyak mubalig muda dan senior yang tampil secara bergiliran. Mulai dari ustadz yang masih berstatus santri hingga ulama yang bergelar kiai.
Kita yang haus akan siraman rohani dengan seksama menyimak apa saja yang dibawakan para penceramah. Tipe dakwah mereka pun berbeda-beda. Sering kita mendengar ceramah yang penuh dalil atau cenderung lebih serius, dan -yang paling ditunggu-tunggu biasanya- adalah dai-dai yang bisa ngelawak di atas mimbar.
Siapapun yang berceramah dan terlepas apa yang disuguhkan, kita sebagai pendengar harus punya prinsif dan juga target. Jangan sampai waktu kita habis percuma menjadi pendengar tanpa hasil yang kita rasakan untuk perubahan diri kita. Atau kita hanya terhibur sampai tertawa sejadi-jadinya, tapi tanpa sadar akibat buruknya. Sering tertawa berlebihan punya dampak negatif bagi jiwa.
Dalam hal ini Rasulullah SAW pernah bersabda: إياك وكثرة الضحك فإنه يميت القلب ويذهب بنور الوجه (رواه أحمد وغيره) “Jangan terlalu sering ketawa (terbahak-bahak). Karena sesungguhnya bisa mematikan hati dan menghilangkan cahaya di wajah.” Padahal hati yang hidup akan lebih mudah berzikir dan bermunajat dengan khusu’.
Ramadan bulan menuju perubahan diri. Bulan mengasah jiwa dan nurani. Masa 30 hari ini seyognyanya kita maksimalkan untuk mengisi diri dengan hal-hal yang bermanfaat. Termasuk selektif dalam mendengar ceramah yang mampu mendukung usaha kita untuk menjadi insan yang lebih baik nantinya.
Sayang jika sepanjang Ramadan kita lebih banyak tertawa dari pada melakukan koreksi diri, lalu insaf atas segala dosa dan khilaf.