Bagian 5: Peradaban Balanipa Dibincang Arkeolog

Budianto Hakim bersama tim di lokasi Tespit pada situs Buyung Lingkungan Pande Bulawang Kelurahan Balanipa Kecamatan Balanipa Polman.

Mengungkap Pusat Peradaban Balanipa – Sendana

-Penguatan Identitas, Kebhinnekaan dan Kemaritiman Mandar-

Reportase Muhammad Munir

Berdasarkan rekam jejak penelitian arkeologi di wilayah Provinsi Sulawesi Barat, tampaknya terdapat ketimpangan baik dari aspek lokus penelitian maupun tema penelitiannya. Penelitian-penelitian yang dilakukan selama ini lebih terfokus pada wilayah Mamuju dan Mamasa. Demikian pula dengan tema penelitiannya lebih memusatkan perhatian pada aspek prasejarah (Somba, dkk., 2019:2).

Wilayah-wilayah lain di luar Mamuju dan Mamasa belum banyak dieksplorasi untuk kepentingan penelitian, begitu pula potensi data arkeologi sejarah yang selama ini belum tersentuh atau masih terabaikan, termasuk di wilayah pitu ba’bana biananga bagian selatan. Pada hal potensi data arkeologi pada periode sejarah merupakan bagian yang terpisahkan dari keutuhan informasi sejarah kebudayaan Sulawesi Barat.

Selama ini penulis sering ditanya oleh mahasiswa yang sedang riset dengan sederet pertanyaan dimana letak pusat Amara’diang Balanipa pada awal berdirinya?; Mengapa lokasi itu dipilih sebagai pusat Amara’diang ?; Mengapa pusat Amara’diang Balanipa kemudian dipindahkan dari pedalaman ke muara sungai atau pesisir pantai?; Bagaimana dinamika kehidupan sosial budaya, politik dan ekonomi amaraqdiang Balanipa?.

Jawabannya tentu berdasarkan sejarah yang dituturkan oleh para tetua di Balanipa, selebihnya merujuk pada informasi manuskrip yang sempat ditemukan dan ditranslite oleh Suradi Yasil, Abdul Muis Mandra dan lainnya. Tapi apa buktinya jika pusat perkampungan mereka itu ada di Napo, di Tammajarra atau di Tangnga-Tangnga?.

Inilah yang menarik dari riset yang diampuh oleh Muhammad Amir dan Budianto Hakim bersama para peneliti ahli dari latar belakang antropolog, arkeolog dan sejarawan ini.

Maka harapan kita dari riset ini adalah memberikan fakta yang bisa difaktualkan dalam bentuk sejumlah temuan arkeolog berupa fragmen keramik, gerabah dan tembikar serta uji ilmiah melalui ekskavasi (testpit) yang dilakukan oleh para peneliti ahli ini. Sebab mengungkap sejarah peradaban tentu tak cukup hanya berdasarkan tuturan para tetua, mereka juga tidak hidup pada zaman itu. Kajian arkeolog tetap jadi yang utama jika ingin membincang sebuah peradaban tua, termasuk di Balanipa. 

Melalui merekalah, Balanipa direkonstruksi kembali dengan penjelasan Amara’diang Balanipa mulai awal berdirinya sampai proses pemindahannya ke pesisir pantai. Mereka juga menguraikan dinamika kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi Balanipa pada periode sejarah di Mandar berdasarkan data arkeologi dan lontara.

Dari sinilah kita memberi kontribusi secara teoritis maupun praktis dalam upaya memperkuat identitas, kebinekaan, dan kemaritiman dalam membangun kekinian dan hari esok. Secara teoritis penelitian ini menambah bahan referensi dan memperkaya khasanah penelitian arkeologi di Indonesia, khususnya penelitian arkeologi sejarah di Sulawesi Barat. Selain itu, hasil penelitian ini juga dapat bermanfaat untuk kepentingan penelitian lebih lanjut.

Secara praktis sasaran penelitian ini jelas bermanfaat bagi kepentingan pembangunan bangsa dan negara, terutama di dalam memperkokoh karakter dan jatidiri bangsa yang berlandaskan pada kebinekaan dan toleransi serta dalam memperkuat identitas dan kemaritiman.

Selain itu, hasilnya dapat menjadi bahan rujukan atau muatan lokal di sekolah serta bermanfaat bagi pemerintah dalam menentukan arah kebijakan pelestarian benda cagar budaya dan penataan destinasi wisata arkeologi sejarah serta pemajuan kebudayaan.

Secara kelembagaan, yaitu tersedianya data dan informasi tentang hasil penelitian arkeologi sejarah di wilayah Mandar, Provinsi Sulawesi Barat. Terutama tentang dinamika Amara’diang Balanipa pada periode sejarah di wilayah pitu ba’bana binanga.

Selama ini, kajian sejarah Balanipa memang sudah sangat sering ditulis baik penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif melalui sumber-sumber tertulis, baik sumber primer maupun sumber sekunder yang berhubungan dengan tujuan riset. Sumber tertulis tersebut dapat berupa dokumen arsip, hasil penelitian, jurnal ilmiah, disertasi, tesis, skripsi, buku, naskah lontara atau manuskrip, majalah, surat kabar, dan sumber tertulis lainnya.

Tapi kali ini Balanipa akan ditulis dengan menggunakan berbagai metode bidang keilmuan, yaitu metode penelitian arkeologi, sejarah, etnografi, dan filologi. Ini adalah kali pertama bagi Balanipa sepanjang sejarahnya.

Aktifitas pemintalan tali (panggulang) salah satu warisan sakka’ manarang Balanipa pada periode awal pemerintahan Arajang Balanipa I Billa-Billami Tomepayung.

Pengumpulan data lapangan melalui survei arkeologi, dilakukan untuk mengumpulkan sebanyak mungkin data berupa artefak (benda alam yang diubah oleh manusia sebagian atau seluruhnya), fitur (artefak yang tidak dapat diangkat dari konteksnya), ekofak (benda alam yang dimanfaatkan manusia masa lalu atau tulang manusia itu sendiri), dan berbagai tinggalan arkeologi lainnya (Simanjuntak, dalam Fakhri, 2017: 89; Somba, dkk., 2019:4).

Hal yang sangat luar biasa dari riset ini sebab dilakukan tidak hanya melalui pengamatan langsung permukaan tanah dari jarak dekat untuk mengetahui tinggalan-tinggalan arkeologi yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Melainkan juga mengamati permukaan di lingkungan sekitar tinggalan-tinggalan arkeologi untuk mendapatkan data arkeologi dalam konteks dengan lingkungan sekitarnya dan sekaligus untuk mengetahui hubungan antar data arkeologi. Termasuk juga diupayakan menelusuri indikasi-indikasi tinggalan arkeologi pada lokasi-lokasi yang diperoleh dari studi pustaka dan hasil wawancara.  

Pada pengumpulan data lapangan ini juga dilakukan testpit (penggalian uji) terhadap lokus yang memiliki indikasi kuat sebagai pusat Amara’diang Balanipa. Sendana untuk menentukan variable pendukung (artefak yang signifikan) dalam lapisan tanah yang dapat menjelaskan sebagai pusat amara’diang (kerajaan).

Sekaligus penggalian dilakukan untuk mengetahui korelasi antara temuan (artefak) permukaan dengan temuan yang ada dalam tanah. Penggalian ini juga untuk mengetahui usia atau penanggalan huniannya (Hakim, dkk.,2019; Bernadeta, dkk., 2013:4).

Dalam kegiatan ini juga dilakukan pendeskripsian dan pemotretan temuan serta pengukuran benda temuan. Pendeskripsian meliputi kegiatan identifikasi dan klasifikasi tinggalan arkeologi, tipologi konteks, dan analogi utamanya yang berkaitan dengan dinamika kehidupan masyarakat (Simanjuntak, dkk., 2008:22; Hasanuddin, dkk., 2015:4).

Sedapat mungkin juga dilakukan pencuplikan lokasi pengamatan menggunakan GPS (Geographical Position System) dan aplikasi rekayasa rupa bumi yang relevan untuk melakukan pemetaan keletakan sebaran tinggalan arkeologi dalam suatu kawasan (Somba,dkk., 2019:7).

Data-data hasil survei dan testpit ini amat penting, bukan saja sebagai salah satu bahan dalam analisis data yang berkaitan dengan tujuan riset, tetapi juga untuk kepentingan riset lebih lanjut di wilayah pitu ba’bana binanga.

Selain itu, dalam pengumpulan data lapangan ini juga dilakukan wawancara untuk memperoleh data etnografi yang mendukung data arkeologi. Penentuan informan didasarkan pada pertimbangan kedekatan antara objek yang ditelaah dengan narasumber atau pelaku budaya yang bersangkutan.

Oleh karena itu wawancara dilakukan baik terhadap tokoh masyarakat yang mengetahui atau dapat memberikan informasi yang berkaitan dengan tujuan penelitian, maupun terhadap masyarakat yang ada di sekitar tinggalan arkeologi untuk mengumpulkan data yang berkaitan dengan apa saja yang diketahui masyarakat tentang tinggalan arkeologi tersebut.

Misalnya benda-benda apa yang pernah ditemukan, cerita yang berkaitan dengan benda temuan, dan apa saja yang pernah dilakukan masyarakat terhadap tinggalan arkeologi tersebut.

Kegiatan wawancara terhadap narasumber atau informan yang mengetahui atau dapat memberikan informasi tentang aktivitas masyarakat yang dianggap sebagai tradisi berlanjut atau tradisi lisan yang tersimpan dalam masyarakat.

Sebab pada umumnya masyarakat yang merawat tradisi lisan, biasanya menuangkan landasan kultur kehidupan politik dan sosial mereka dalam bentuk cerita rakyat, kalinda’da’, dan sejenisnya.

Hal ini dimaksudkan untuk menghindari sikap mengabaikan realitas sosial yang tidak tertuang dalam naskah (dokumen dan manuskrip). Teknik wawancara yang akan dilakukan adalah wawancara terbuka agar informan atau narasumber lebih leluasa dalam memberikan keterangan atau jawaban atas pertanyaan.

(BERSAMBUNG)