Antara Otak, Pilihan Politik dan Gen Z

Alur Firehose of falsehood: buat peryataan hoax (misleading and false claim) lalu dibahas sampai viral. Jika ketahuan berbohong maka mengakui dan minta maaf sekaligus menuduh lawannya juga berbohong (semua berbohong). Tujuannya agar kebenaran diragukan.

Cambrige Analytica (CA) yang menjadi konsultan politik Trump diduga memiliki andil besar terhadap kemenangan Trump di Amerika. Sebelum bangkrut, perusahaan ini melakukan profiling terhadap penduduk di 32 negara yang akan pemilu dari kurun waktu 2018-2020, tentu saja Indonesia termasuk dalam salah satu diantaranya.

Mengapa firehose of falsehood begitu berbahaya? Karena bisa memecah bangsa apalagi sebuah bangsa yang majemuk. Pemenang yang menggunakan teknik ini akan terpaksa terus-menerus mempertahankan kebohongannya seperti Trump melakukan kebohongan sebanyak 5000 sepanjang tahun 2018 yang dianalisis oleh Washington post. Isu religi (agama), rasisme, ultranasionalisme yang terus-menerus di bakar akan menyebabkan perpecahan. Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, agama, dan kelompok terancam pecah dan perang.

Peran Gen Z

Generasi Z, yang umumnya didefinisikan sebagai individu yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, semakin memainkan peran penting dalam pemilihan umum (pemilu). Berikut adalah beberapa peran utama yang dimainkan oleh Generasi Z dalam konteks pemilu:

  1. Aktivisme Politik: Generasi Z dikenal aktif dalam hal aktivisme sosial dan politik. Mereka sering menggunakan platform media sosial untuk menyuarakan pendapat mereka tentang isu-isu politik dan sosial yang mereka anggap penting. Partisipasi mereka dalam gerakan sosial seperti hak-hak LGBTQ+, perlindungan lingkungan, dan keadilan sosial menunjukkan kepedulian mereka terhadap kebijakan publik.
  2. Pemilih Muda yang Berpengaruh: Meskipun Generasi Z belum sepenuhnya mencapai usia pemilih di semua negara, mereka merupakan kelompok yang semakin berpengaruh dalam proses pemilihan. Ketertarikan mereka pada isu-isu seperti perubahan iklim, pendidikan, pekerjaan, dan ekonomi sering memengaruhi platform politik para kandidat.
  3. Peningkatan Partisipasi Pemilu: Meskipun adopsi teknologi dan media sosial, Generasi Z menunjukkan tingkat partisipasi yang lebih tinggi dalam pemilihan dibandingkan dengan generasi sebelumnya pada usia yang sama. Mereka cenderung menggunakan internet untuk mencari informasi tentang kandidat dan masalah, serta untuk berbagi pandangan mereka dengan orang lain.
  4. Pengaruh Media Sosial: Generasi Z adalah pengguna aktif media sosial, dan platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter sering digunakan untuk menggalang dukungan politik, menyebarkan informasi kampanye, dan mengorganisir acara atau protes politik. Ini membuat mereka memiliki pengaruh yang signifikan dalam memengaruhi opini publik dan memobilisasi pemilih.
  5. Advokasi untuk Perubahan: Generasi Z cenderung lebih skeptis terhadap politik konvensional dan lebih condong pada kandidat yang menjanjikan perubahan konkret. Mereka memperjuangkan inklusivitas, keadilan sosial, dan transparansi dalam proses politik.

Dengan demikian, Generasi Z bukan hanya sekadar peserta dalam pemilu, tetapi mereka juga agen perubahan yang potensial dengan pengaruh signifikan dalam bentuk aktivisme, partisipasi, dan penggunaan teknologi dalam proses politik.

Kalau berdasarkan pandangan politik, generasi Z tersebar diantara konservatif dan progresif. Ada beberapa yang progresif yang mungkin berinteraksi dengan organisasi kepemudaan, organisasi kiri atau organisasi sosial. Ada juga yang konservatif yang memiliki kecenderungan bergabung dengan komunitas agama, komunitas kebudayaan atau komunitas dakwah. Namun kebanyakan dari mereka adalah moderat (ditengah).

Propaganda kebohongan dalam perpolitikan yang dijelaskan diatas sangat berbahaya dan kita lihat diterapkan dalam perpolitikan di Indonesia. Mari kita kritis dalam menanggapi setiap berita yang viral, jangan langsung di terima sebagai sebuah kebenaran. Lakukan pengecekan kebenaran terlebih dahulu dan berikan pilihan politik kita kepada sosok atau kandidat yang pantas mendapatkanya apalagi sudah dekat pilkada.

Penutup

Dalam buku Yuval Noah Harari yang berjudul 21 Lesson for the 21st Century disebutkan bahwa demokrasi adalah mengenai apa yang dirasakan oleh manusia bukan berdasarkan alasan logis. Artinya, konsekuensi dari demokrasi adalah setiap orang akan punya kecenderungan memilih berdasarkan kondisi emosionalnya.

Maka penting untuk menjaga kewarasan kita dalam era big data. Bagaimana kita bisa memilah mana yang fakta mana yang opini, mana yang data-data statistik dan mana data hasil cerita yang tidak dapat diverifikasi.

Hoax teknik FoF tidak bisa dijawab satu persatu. Ada cara yang dianjurkan oleh Cristopher Paul and Miriam Matthews dari Rand Corporation. Berikut beberapa cara untuk melawannya: (1) Menjawab FoF dengan fakta atau data kinerja saja tidak akan berhasil karena angka dan data membosankan untuk dicerna dan tidak akan mampu mengimbangi frekuensinya yang cepat; (2) pancing rasa ingin tahu masyarakat atas setiap detail yang ada di dalam hoax agar mereka berusaha mencari tahu sendiri lewat googling; (3) aparat keamanan harus aktif menangkapi pencetus dan penebar hoax; (4) jawab hoax dengan humor atau joke.

Don’t expect to counter the firehose of falsehood with the squirt gun of truth. Find ways to help put raincoat on those at whom the firehose of falsehood is being directed”. (Cristopher Paul and Miriam Matthews dari Rand Corporation).