Oleh Fauzan Azima (Mahasiswa/Pegiat Sosial)
Indonesia negara yang terus memperbaiki diri dalam proses kenegaraan. Terutama dalam bidang politik, hukum dan demokrasi menjadi sorotan dan perhatian yang tak pernah lepas dari tragedi.
Dalam kancah politik praktis nasional dan daerah, Indonesia menyebutnya dengan perayaan pesta politik negara. Perayaan ini tak pernah lepas dari peran kaum pelangi yang terus bermunculan dan bertambah dengan warna warni yang indah terlihat oleh mata.
Kaum pelangi di Indonesia terus bermunculan dengan warna, visi serta tujuan baru untuk membuat Indonesia lebih kaya akan pengalaman politik dan demokrasi dalam bernegara. Kaum pelangi ini lebih dikenal masyarakat sebagai partai politik.
Partai politik di Indonesia terus berkembang biak dan menampakkan diri sebagai patron pendidikan politik dengan nuansa dan pembaharuan yang semoga saja selalu memiliki kepentingan untuk negara dan masyarakat. Bukan hanya kepentingan kelompok elit tertentu.
Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959–1965), atau Orde Lama, peta politik Indonesia berubah karena Dekrit Presiden Republik Indonesia 1959. Dekrit ini membatasi partai politik dengan Penetapan Presiden No 7 tahun 1959.
Penetapan yang mewajibkan partai politik untuk:
menerima dan membela konstitusi 1945 dan Pancasila serta menggunakan cara-cara damai dan demokrasi untuk mewujudkan cita-cita politiknya.
Namun nahas, kejanggalan di kontestasi politik malah tidak sejalan dengan apa yang telah di cita-citakan sebelumnya.
Tragedi demi tragedi terjadi mewarnai perayaan pesta politik dan demokrasi di Indonesia. Apakah masih pantas kita sebut bahwa perayaan politik ini dengan sebutan pesta (?)
Pada umumnya kita mengetahui bahwa pesta merupakan perayaan suka cita serta membuat semua orang berbahagia. Tapi tidak dengan pesta demokrasi kita yang lebih kental dengan isu SARA, kekacauan di mana-mana, darah dan nyawa melayang sia-sia serta kebencian merambat sampai ke mana-mana.
Tidak ada kedamaian sejak perjalanan pesta politik negara, sejak zaman orba, orla, reformasi sampai kepada zaman behaula ini.
Pesta demokrasi apa yang dimaksudkan di perhelatan politik yang terus digulir ini?
Apakah kekacauan ini merupakan harga yang wajib dibayar oleh semua warga negara dan negara Indonesia untuk mencapai cita-cita demokrasi yang tinggi atau demokrasi yang indah itu hanya sebatas utopia belaka?
Mari kita saksikan sejarah perjalanan politik di Indonesia yang tak pernah lepas dari luka dan derita yang harus di tanggung oleh ibu Pertiwi kita. Dinasti politik seumur hidup, penggulingan oleh PKI, kemaslahatan orba, caci maki ulama, meningginya hutang negara dan sampai kepada meninggalkannya para pejuang PPK dan PPS demi pemilihan umum raja di Nusantara.
Dan, hari ini kita saksikan bersama, kejadian hari ini di mana konstitusi negara di injak-injak oleh penguasa demi kepuasan nafsunya. Setelah itu apa lagi drama yang akan dibuat pemimpin negara untuk merusaki demokrasi dan politik di Indonesia?
Mari kita tunggu pertunjukan selanjutnya. (*)