Agama dan Teroris

Kotak Amal Rp 50 Juta -

Oleh Haidir Fitra Siagian
Dosen Komunikasi Politik, FDK UIN Alauddin Makassar

DI negara ini, setiap kali ada peristiwa yang sangat mengenaskan seperti peledakan bom dan sejenisnya, umumnya menyebabkan korban jiwa dari rakyat yang sama sekali pun tak tahu masalahnya. Di antara korban itu ada yang luka parah dan ada juga yang meninggal dunia.

Tentunya kita dalam kapasitas sebagai manusia dan lingkup sosial, menyatakan duka cita yang mendalam. Kita mendoakan agar korban yang sakit segera sembuh dan korban yang meninggal dunia memeroleh tempat yang layak di sisi Tuhan sesuai dengan keyakinannya masing-masing.

Dalam peristiwa demikian, sering kita dengar pengaitan antara agama tertentu atau umat beragama tertentu dengan pelaku tindak kekerasan tersebut. Karena pemeluk agama terbesar di Indonesia adalah beragama Islam, maka kerap orang-orang dengan simbol-simbol keagamaan Islam diwacanakan sebagai teroris.

Ini ada alasannya, karena beberapa orang yang ditangkap dan diadili sebagai tersangka lalu divonis dengan kekuatan hukum tetap, umumnya beragama Islam.

Lihatlah misalnya, mereka yg tertangkap dan tersangka kerap meneriakkan kalimatullah, memakai gamis, berjenggot dan celana pendek. Kesemua itu adalah simbol-simbol yang kerap dekat dengan sebagian kalangan umat Islam. Atas dasar itu, maka umat Islam diasosiasikan sebagai teroris.

Benarkah demikian?
Ternyata pada hari ini, Presiden RI, Bapak Jokowi Widodo, mengeluarkan pernyataan yang menurut saya, sangat brilian. Tidak ada kaitan agama manapun dengan teroris, katanya pasca pengeboman beberapa gereja di Surabaya hari ini.

Pernyataan ini cukup melegakan, karena menjadi momen untuk membersihkan agama manapun, termasuk agama Islam, dari sesuatu yang kerap diasosiasikan sebagai teroris.

Jadi mengapa ada bom atas nama agama?

Pada pandangan saya, para pelaku kekerasan tersebut adalah bagian dari agenda tertentu. Agenda apa itu? Siapa mereka? Itulah sebenarnya yang perlu diungkapkan secara transparan oleh negara.

Bahwa ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan isu ajaran jihad agama untuk kepentingan mereka. Tidak tertutup kemungkinan pihak-pihak tersebut membina atau memelihara para pelaku kekerasan tersebut, misalnya berbasis sekolah, madrasah, organisasi keagamaan, pengajian dan seterusnya. Kemungkinan itu tentu ada, sebabnya adalah masih ada masyarakat yang tingkat pemahaman keagamaannya masih perlu dibina.

Siapa yang harus membina umat tersebut, tentu negara harus berada di garda terdepan, disusul ormas Islam, opinion leader, dan potensi masyarakat lainnya. (*)