1945 Belum Merdeka, Hanya Melihat Gerbang Kemerdekaan

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dilaksanakan pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 tahun Masehi, atau tanggal 17 Agustus 2605 menurut tahun Jepang (kōki) (17 Agustus Shōwa 20 dalam penanggalan Jepang itu sendiri), yang dibacakan oleh Soekarno dengan didampingi oleh Mohammad Hatta di sebuah rumah di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta Pusat. (Foto: Wikipedia)
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dilaksanakan pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 tahun Masehi, atau tanggal 17 Agustus 2605 menurut tahun Jepang (kōki) (17 Agustus Shōwa 20 dalam penanggalan Jepang itu sendiri), yang dibacakan oleh Soekarno dengan didampingi oleh Mohammad Hatta di sebuah rumah di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta Pusat. (Foto: Wikipedia)

Umumnya basis dari gerakan DI/TII ini berpusat di daerah pegunungan Sulawesi Selatan, seperti di pedalaman Palopo, Luwu, Sidrap, serta Maros terutama di daerah Palopo dan Luwu. Cara yang digunakan ialah merekrut para pelajar kemudian mempersenjatainya. Ada juga gerakan perempuan bersenjata dipimpin oleh Andi Halida, istri Kahar Muzakkar, yang berpusat di Palopo.

Seruan Kolonel Kawilarang untuk menumpas gerakan ini justru semakin membulatkan tekad Kahar Muzakkar untuk memperluas jaringannya hingga ke Sulawesi Barat dan Sulawesi Tenggara. Sikap ofensif dan masif dari gerakan ini membuat pemerintah kewalahan dalam proses penyelesaiannya.

Rasa kesukuan yang tinggi yang tertanam didalam kelompok gerilyawan, serta kecakapan Kahar dalam merebut simpati rakyat menjadi faktor banyaknya pengikut Kahar. Juga dalam memperbanyak pengikutnya, Kahar beserta bawahannya berusaha memperoleh dukungan dari masyarakat, baik dukungan langsung-aktif dan dukungan tidak langsung-pasif.

Berbagai upaya damai telah ditempuh pemerintah untuk meredakan pemberontakan Kahar. Dari bulan Desember 1951 sampai Maret 1952,

Gubernur Sulsel pada waktu itu, Sudiro, dengan bantuan Nyonya Salawati Daud berusaha menemui Kahar di sekitar tempat persembunyiannya, di Palopo. Mulanya Kahar setuju untuk bertemu pada bulan Januari tapi kemudian diundur hingga Maret.

Namun ketika Sudiro berada di tempat yang telah disepakati, Kahar mengirim pesan bahwa ia tidak ingin datang karena khawatir diperdayakan dan kemudian ditangkap. Dalih Kahar ini dinilai tak beralasan. Sebab kedatangan Sudiro untuk menemui Kahar tanpa pengawalan militer. Keberangkatan Sudiro juga tidak diketahui Kepala Staf T-VII, Warrow.

Sudiro bahkan menawarkan dirinya untuk dijadikan Sandra, asalkan Kahar bersedia menemui pemerintah pusat di Jawa. Sayangnya, Kahar menolak semua upaya damai itu.

Upaya membujuk Kahar juga ditempuh oleh Ny. Salawati Daud. Berkat  bantuan seorang Komandan Batalyon Kahar, Andi Tenriadjeng, Ny. Salawati Daud berhasil menemui Kahar, tapi tidak berhasil mempengaruhi Kahar agar mau bertemu dengan Gubernur Sudiro maupun dengan pemerintah pusat.

Persiapan Kahar untuk melakukan pemberontakan dengan mengibarkan bendera Islam lewat DI/TII, nyatanya belum tersosialisasi dengan baik. Itu terlihat dari reaksi negative yang diperlihatkan para komandan eks CTN (Corps Tjadangan Nasional), anak buah Kahar. Diantaranya Andi Sose, pimpinan Batalyon Monginsidi di Enrekang dan Azis Taba, pimpinan Batalyon Arief Rate di Bonthain.

Kolonel Gatot Subroto yang telah memegang jabatan komandan TT-VII berhasil meyakinkan kedua anak buah Kahar itu untuk kembali ke pangkuan TNI. Dalam benak keduanya, niat Kahar membentuk Negara Islam tak ubahnya sebagai pembentukan Negara di dalam Negara.

Sekalipun fakta itu disangkal oleh Kahar, namun Andi Sose dan Azis Taba rupanya tak bergeming yang membuat Kahar memang kehilangan kedua bawahannya itu. Batalyon Andi Sose kemudian dilantik menjadi Batalyon TNI 720, 4 Maret 1952 (Tomi Lebang: 74-75).

 

(BERSAMBUNG)