Setelah CTN terbentuk, Kahar mulai kecewa karena ia hanya diangkat menjadi wakil komandan CTN yang dipimpin oleh Kolonel Warrow asal Sulawesi Utara. Lagi-lagi mereka hanya dibutuhkan untuk mobilisasi nasional yang terbentuk secara spontan, yang pada prinsipnya adalah kesukarelaan untuk membela negaranya.
Malangnya, Mayjen A.H. Nasution sebagai pimpinan TNI saat itu, merasionalisasi TNI dengan alasan jumlah yang terlampau banyak. Pasukan CTN yang terdiri atas rakyat sipil bersenjata eks gerilyawan zaman perjuangan kemerdekaan itu hanya akan diterima menjadi anggota TNI setelah melalui seleksi.
Pasukan CTN pimpinan Kahar Muzakkar banyak yang tidak lulus seleksi karena masalah pendidikan formal. Kahar meminta kepada atasannya agar seluruh anggota CTN eks pasukan KGSS dimasukkan dalam TNI tanpa diseleksi dengan pertimbangan menghargai jasa mereka di zaman perjuangan kemerdekaan.
Kahar ingin membentuk pasukan CTN ini dalam Brigade Hasanuddin yang akan dipimpinnya. Usulan Kahar tidak diterima oleh atasannya waktu itu, Letkol A. Kawilarang sebagai Panglima TNI/APRIS Territorium VII di Makassar.
Keputusan tersebut mengecewakan Kahar Muzakkar. Dia lalu menginstruksikan dua orang kepercayaannya, Bahar Mattalioe dan Saleh Sabhan, untuk menata kembali eks-pasukan gerilya revolusi ke dalam sebuah wadah bernama Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS), menjadi satuan batalion-batalion.
Selanjutnya, pasukan ini mendapat tugas untuk melakukan kekacauan di pedalaman yang merupakan basis bangsawan pro-Belanda kemudian mengambil alat persenjataannya. Langkah ini berhasil, secara kuantitas jumlah pasukan Kahar Muzakkar bertambah satu divisi.
Namun, Saleh Sabhan kemudian resah karena Kolonel Kawilarang mengeluarkan kebijakan perekrutan di dalam KGSS melalui seleksi perorangan yang ketat dari masing-masing batalion. KGSS bukan dihitung sebagai satuan divisi melainkan satuan kompi belaka.
Untuk mencari solusinya, Bahar Mattalioe dan Saleh Sabhan menyerahkan kepada Kahar Muzakkar. Pada 22 Juni 1950, Kahar Muzakkar ditemani Letkol Mursito menemui Kolonel Kawilarang di Makassar, meminta agar seluruh gerilyawan KGSS dapat diterima ke dalam TT-TI.
Jika tidak, Kahar Muzakkar mengajukan alternatif agar Kolonel Kawilarang membentuk sebuah resimen yang personilnya diambil dari seluruh anggota KGSS tanpa seleksi sebagaimana ketentuan pemerintah pusat.
Usulan tersebut ditolak oleh Kolonel Kawilarang, yang menimbulkan kemarahan dan kekecewaan Kahar Muzakkar. Ia merasa tidak dihargai dan kemudian mengambil sikap berbalik melakukan perlawanan terhadap pemerintah RIS.
Langkah ini didukung oleh bangsawan lokal, kemudian melahirkan gagasan untuk membangun Negara Islam di Sulawesi Selatan. Untuk memperoleh senjata, Kahar Muzakkar membeli dari anggota TNI yang membutuhkan uang.
Di samping itu, Bahar Mattalioe dan beberapa anggotanya mencari tempat-tempat perjudian di Sulawesi Selatan, terutama di daerah pedalaman, untuk menghimpun dana dari uang taruhan judi, serta merampas senjata penjudi seperti badik, parang, dan tombak.
Dalam gerakan yang dibangunnya ini, Kahar Muzakkar tidak menyertakan ulama. Kebanyakan yang terlibat adalah bangsawan, yang menjadi pimpinan batalion, seperti Andi Selle Mattola, Andi Sose, Andi Tanri Adjeng, Andi Patawari, dan Andi Masse. Kesemuanya ini adalah pendukung awal gerakan yang dibangun oleh Kahar Muzakkar dengan nama DI/TII.