Oleh: Farid Wajdi
Periode 1988 merupakan periode awal saya mengenal bangku kuliah di Makassar. Sejak menyandang status mahasiswa di kota Makassar, berbagai sematan yang mesti dilakoni dan diperankan, kamus dasarnya bahwa mahasiswa adalah Agen of social Change atau agen-agen perubahan sosial. Sampai pada tingkat yang tertinggi yaitu mahasiswa pejuang, dan pejuang mahasiswa itulah DNA mahasiswa terdengar jelas pada pidato saat OSPEK, sebelum perkuliahan dimulai.
Dengan peran yang sedemikian mulia itu, maka seluruh dimensi waktu dan ruang dipergunakan sepenuhnya. Periode masa emas ini tidak bisa dilewatkan begitu saja harus diisi dengan pengetahuan dan pengalaman yang berarti, the loss time never come again, demikian petuah Rahmat Hasanuddin. Pada suatu ketika setiap hari menjadi berharga mulai jam kuliah masuk perpustakaan, masuk organisasi menjadi pendengar menjadi pembicara mengatur organisasi. Mulai dari kelas lorong sampai kelas ruangan hingga mengikuti kegiatan yang tarkam, berskala nasional organisasi kemahasiswa intra dan ekstra kampus, juga sifatnya kedaerahan atau organisasi yang anggotanya berasal dari daerah dilalap habis.
Tahun 1992 sampai 1994 saya diberi amanah teman-teman terpilih menjadi pengurus Kesatuan Pelajar Mahasiswa Polewali Mandar Cabang Balanipa. Namanya disingkat menjadi KPM-PMM Cabang Balanipa. Sekertarisnya saat itu adalah Laila Nur Djamaluddin. Saya terpilih menjadi ketua saat itu karena menggantikan Asri Abdullah, Asri Abdullah menggantikan Masri M. Bachri, dan Masri M. Bachri menggantikan Arifuddin Toppo.
Posisi penasehat KPM PMM Cabang Balanipa pada saat saya menjadi ketua adalah H. Borahima yang saat itu menjabat kepala Biro Akademedik dan Kemahasiswaaan IKIP Ujung Pandang. Rumah beliau beralamat di Jalan Bonto Langkasa Nomor 5 yang tetangga dengan rumah Jabatan Rektor UNM saat ini. Dari rumah inilah cerita membantu para pejuang Sulbar dimulai.
Melalui organisasi kedaearahan ini, serta arahan penasihat yang sangat aktif memberikan pengalaman experience baik sebagai seorang penasehat yang memang selalu mengalokasikan waktu terbaiknya, maka terbuka ruang kepada kami mahasiswa untuk bersilaturrahmi dengan para orang tua di Makassar. Dari sanalah, kita berjumpa secara langsung tokoh-tokoh Mandar yang berada di Makassar: Prof. Dr. Darmawan Masud Rahman, Husni Djamaluddin panglima puisi Indonesia, Andi Mappatunru. Mendengar ceritra tentang kearifan lokal mandar, tentang sikap dan pendirian sebagai manusia Mandar dan banyak lagi nilai-nilai yang diserap melalui dialog yang lepas dan intens antar generasi ini termasuk di dalamnya memikirkan pembangunan kampung.