Reporter: Sudirman Syarif
JUMAT, 14 Januari 2022, genap sudah satu tahun gempa berkekuatan 5,9 magnitudo meluluhkan banyak harapan di di Kabupaten Majene, Mamuju, dan Mamasa, Sulawesi Barat. Gempa yang berpusat di Kecamatan Malunda, Majene kemudian disusul gempa dengan kekuatan lebih besar 6,2 magnitudo, Jumat dini hari yang menewaskan puluhan orang dan merusak ribuan rumah dan sarana umum.
Puluhan ribu warga mengungsi ke perbukitan menghindari kemungkinan terjadinya gelombang tsunami. Tenda-tenda darurat menjadi hunian sementara yang ditinggali beberapa bulan, sebelum warga kembali ke rumah.
Tiga ratus enam puluh lima hari telah berlalu, menjadi waktu yang cukup untuk kembali pulih dan bangkit dari bencana. Geliat ekonomi kembali normal. Sebagian rumah-rumah warga telah selesai dibangun, usai menerima dana bantuan stimulan perbaikan rumah dari Pemerintah.
Namun kondisi ini tidak berlaku bagi ratusan warga Dusun Aholeang dan Dusun Rui, Desa Mekatta, Malunda. Dua dusun ini menjadi daerah paling terdampak gempa, perkampungannya ambruk dan warga memilih meninggalkan kampung dan menetap di lokasi pengungsian.
Lahan relokasi telah disediakan pemerintah, namun warga terkendala biaya pembangunan rumah, sehingga warga hanya bisa bertahan di tenda darurat, menghabiskan waktu panjang, menunggu bantuan Pemerintah.
“Bukan cuman rumah kami yang rusak, tapi kampung kami yang rusak. Longsor, pecah, kampung kami sudah tidak bisa ditempati,” kata Ceppa, nenek 70 tahun warga Aholeang yang masih tinggal di tenda pengungsian,” Kamis (13/1/2022).
Malam itu ia sedang beristirahat di bawah pohon sawit beratap terpal lapuk. Ia tinggal bersama seorang anaknya, dan sedang membereskan tempat tidur beralas papan bekas.
Dua dusun ini masuk dalam bantuan rumah tahap kedua, dana bantuan stimulan perbaikan rumah yang semuanya masuk kategori rusak berat. Warga menunggu dana stimulan turun, untuk memulai pembangunan.
“Setahun kami di sini, saya tidak tahu kenapa belum dibuatkan rumah. Setengah mati kita, kita kepanasan,” Ceppa bercerita dan menyangga dagu dengan tangan kanannya yang keriput. Matanya memperlihatkan kebingungan akan hidup selanjutnya.
Jika hujan turun dan angin kencang, Ceppa bersama warga lain mengungsi ke masjid darurat yang dibangun oleh para relawan, jaraknya sekitar 30 meter dari tenda pengungsian Ceppa.
“Yang paling berat kita di pengungsian, pada saat hujan dan angin, air masuk ke tenda, apalagi yang punya anak kecil, kemudian warga khawatir karena ada beberapa pohon kelapa. Sudah beberapa kali juga ganti tenda saat angin kencang, tenda rusak karena angin,” kata Kepala Dusun Aholeang Lukman.
Menurut Lukman, ada sekitar 20 lebih kepala keluarga masih tinggal di tenda pengungsian, sisanya sudah menempati hunian sementara yang dibangun oleh Komunitas Gusdurian. Meski begitu, 75 KK warga Aholeang menunggu bantuan Pemerintah.
“Memang masyarakat mulai bosan tinggal di tenda, harus dibangunkan rumah. Kemarin juga digusur karena pembersihan lahan, pindah di sekitar sawit. Sudah lelah mereka, akhirnya mereka kemarin sudah ada diberikan lokasi, tapi dia memang tidak mau pindah ke sana, karena masih menunggu kasihan rumah,” tutur Lukman.
Untuk bertahan hidup, warga yang masih memiliki lahan kembali bertani, mereka yang lahannya ditelan lindu di Aholeang, meminjam lahan warga, sekedar bertani untuk kebutuhan makan.
“Kemarin karena memang masyarakat di sini mayoritas petani, ya memang bertani, ditanami jangka pendek, pinjam tanah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya,” tutup Lukman.
Adapun untuk warga Dusun Rui, masih ada sekitar 10 keluarga yang tinggal di tenda pengungsian.
Kepala BPBD Kabupaten Majene Ilhamsyah menyampaikan relokasi perkampungan warga sudah selesai dibayarkan. “CSR BPD proses pembangunan sebanyak 10 unit,” katanya kepada mandarnesia.com melalui pesan WhatsApp. Untuk tahap awal, 10 rumah akan dibangun menyusul 40 unit rumah.
Ilhamsyah menjelaskan, untuk tahap kedua dana stimulan perbaikan rumah, prosesnya memang agak panjang. Data BPBD Majene sudah di Pemerintah Pusat.
“Data akan diperiksa oleh pejabat interen, kemudian diserahkan ke Pemerintah Kabupaten Majene untuk dilakukan verifikasi lapangan, sudah lapangan, na itu baru ditetapkan keputusan bupati. Agak panjang prosesnya ini,” ungkapnya.