Wajah Demokrasi Pasca Pemilu 2019

Oleh: Fathullah Syahrul (Mahasiwa Pascasarjana Jurusan Ilmu Politik di Universitas Padjadjaran)

Demokrasi dan partai politik merupakan satu kesatuan yang kemudian bertransformasi sebagai produk politik. Misalnya politik, dalam konteks sejarah peradaban ilmu pengetahuan, masing-masing tokoh punya metode sendiri dalam menafsirkan. Tokoh klasik, Aristoteles menawarkan gagasan tentang Zoon Politikon, tokoh modernisasi/empirik, Thomas Hobbes dengan gagasan Leviathan, tokoh Post-Modernisme, magnum Opus Machiavelly “The Prince”.

Semua gagasan tersebut menjadi satu kekuatan (One Power) dalam melihat secara gamblang peta perpolitikan kita di Indonesia. Seiring berjalannya waktu, dalam politik di Indonesia politik memiliki banyak anak salah satunya adalah Demokrasi.

Demokrasi sebagai produk politik juga memiliki tafsiran yang berbeda-beda. Pada fase klasik demokrasi diartikan Vox Populi, Vox Dei yaitu, suara rakyat adalah suara tuhan, kemudian pada fase sebelum kontemporer berubah menjadi One Man One Vote: satu orang satu suara. Kemudian bertranformasi ke Indonesia yang dipahami bahwa demokrasi itu adalah dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, Di aras ini, hal tersebut bagian dari representasi dari gagasan Montesquieu, Trias Politikayang kita kenal: legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Trias Politika diyakini sebagai sebuah arena Partai Politik untuk menyusun strategi dalam proses perebutan kekuasaan. Tetapi, tentu kita sebagai masyarakat harus mencatat beberapa kekeliruan yang dilakukan oleh Partai Politik, apakah mereka tengah memperjuangkan demokrasi ataukah membuat cacat demokrasi itu sendiri?

Fenomena Politik dan Kekuasaan

Berawal dari fenomena politik dan kekuasan yang akhirnya berujung pada rakyat. Saat ini, kita sedang dilanda krisis demokrasi mengapa? karena demokrasi dipahami sebagai ajang temporal yang finalnya saat kita berada di bilik suara. Olehnya itu, demokrasi harus dipahami sebagai satu nafas bangsa dan dihirup oleh seluruh elemen masyakat.

Auto kritik terhadap demokrasi paling tidak dapat dilihat dari fenomena ini, sejumlah kasus pelayanan buruk bagi kebutuhan dasar masyarakat, kemiskinan yang tak kunjung berakhir ramainya mutasi pasca Pilkada yang menyebabkan tidak efektifnya pelayanan pemerintahan, hingga kasus-kasus penyelewengan dana-dana pembangunan yang dilakukan oleh aparat tertentu, menunjukkan fenomena ironik ditengah menyeruaknya demokrasi.

Pemandangan lain dapat ditemukan dari kecenderungan disharmonisasi antara Bupati/Wakil Bupati terutama ketika Pilkada akan segera berlangsung. Keduanya lantas menjadi kandidat Pilkada dengan pasangan yang berbeda. Parahnya, karena persaingan keduanya berefek pada terbelahnya birokrasi pemerintahan. Birokrasi pemerintahan daerah lalu entah tanpa sadar tenggelam dalam politik Pilkada.

Meski itu bertentangan dengan undang-undang, kalau kedua pemimpin daerah memaksa birokrasi menjadi tim sukses hampir tak ada alasan menolak mereka harus bersedia. Taruhannya; kehilangan jabatan atau penurunan karir, mengingat pembina mereka adalah kepala daerah. Disisi lain pelayanan pada rakyat mengalami kemacetan serius. Kejadian lain adalah kiprah parpol dalam Pilkada yang cenderung tidak menunjukkan pengembangan demokratisasi melalui momentum Pilkada.

Mengapa? Mari melihat satu demi satu. Pertama, terjadinya krisis kader pemimpin ditingkat internal parpol. Sebagian besar parpol tidak memiliki stok pemimpin masyarakat. Gejala ini dapat dibaca dari fenomena “rental” jasa lembaga survei oleh parpol untuk mengidentifikasi calon pemimpin diluar kader parpol yang nantinya dipromosikan menjadi kandidat Gubernur/Bupati/Walikota dalam Pilkada.

Selanjutnya, parpol pada akhirnya hanya dijadikan kendaraan politik semata. Tugas dan fungsi dasar parpol sebagai agregator dan representator untuk kepentingan publik oleh sejumlah kader penggeraknya nyata tereduksi. Kedua, merapuhnya ideologi parpol dalam Pilkada, karena managemen parpol terbuka bebas bagi siapapun yang hendak mengendarainya dalam laga Pilkada sepanjang negosiasi tertentu mencapai mufakat. Ironiknya, karena masa tumpangan parpol oleh kandidat hanya temporal dari aspek waktu; selesai setelah perhitungan suara.

Masa kadaluwarsa parpol sebagai tumpangan kandidat Pilkada berlaku setelah Pilkada dihelat. Pasca Pilkada, urusan dengan parpol hampir tak ada lagi. Maka tak perlu heran ketika kandidat pemenang Pilkada cenderung menjalankan kekuasaan eksekutifnya tanpa ada kontrol parpol, terutama parpol yang meraih kursi di Legislatif.

Fenomena lain dapat kita lihat sebagai bentuk kecacatan fatal demokrasi saat 4 pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi Barat dan 41 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang harus berhadapan dengan Komisi Pemberantan Korupsi (KPK) Republik Indonesia. Wakil rakyat sebagai jebolan demokrasi diyakini mampu mewakili suara-suara rakyat di Parlemen justru harus merasakan manisnya penjara.

Jika demokrasi dipahami sebagai instrumen kekuasaan, maka kekuasaan itu akan memangsa demokrasi itu sendiri dan rakyat pula yang akan jadi korbannya.

Berbagai fenomena diatas tentu akan menghambat usaha mencapai kesejahteraan rakyat. Jika parpol sebagai kendaraan politik yang berfungsi sebagai agregator dan representator tidak berjalan sebagaimana mestinya dan demokrasi tidak diletakkan pada fungsi dan tujuannya, maka itulah salah syarat runtuhnya sebuah sistem.

Pascapemilu tahun 2019, legislator yang terpilihd arirakyat akan mengemban amanah yang cukup serius. Ini bukan main-main, sebab rakyat telah menitik beratkan seluruh keluhan, harapan, mimpi kepada legislator yang akan duduk di kursi parlemen.