Laporan : Nurliah Nuhun
Perjalanan mengantarkan saya ke Desa Mammi, Kecamatan Binuang, Kabupaten Polewali Mandar. Saat pertama memasuki Mammi, mata akan dimanjakan hamparan padi yang hijau nan subur. Juga bau amis empang yang menyengat penciuman.
Desa dengan penduduk yang berasal dari suku yang berbeda-beda, tampak terlihat damai, perbedaan suku tak menjadi alasan untuk menciptakan konflik di dalamnya. Mammi bagaikan Nusantara skala kecil.
Niat hati sekedar berkunjung ke rumah kawan untuk silaturahmi tapi perjalanan yang berkesan ini rupanya mempertemukan saya dengan Usman, lelaki berusia 40 tahun.
Seperti halnya warga lainnya Usman menghidupi keempat buah hatinya dari membuat gula aren. Pekerjaan yang dilakoni Usman, menarik perhatian penulis, selain memang sebagai bentuk penghasilan, pekerjaan ini merupakan upaya pelestarian pembuatan gula Mandar makanan secara dengan alat-alat yang masih bersifat tradisional.
Saat udara terasa sangat dingin dan matahari belum menampakan cahayanya, Usman akan segera meninggalkan bantal dan bergegas menuju kebun. Pohon enau yang telah di goyang beberapa hari sebelumnya harus segera diperiksa dan dipanen.
Sebelum aren disadap ke dalam bambu atau jerigen yang dipasang di tangkai pohon, terlebih dahulu pohon enau harus digoyang agar menghasilkan air yang banyak, dalam sehari aren yang dihasilkan akan dipanen dua kali sebab aren yang disadap ke dalam bambu tak boleh tinggal lama, atau kalau tidak aren yang dihasilkan akan terasa pahit dan mengurangi kualitas gula.
Begitu pun ketika sore hari, tak perlu menunggu terik matahari sedikit redup, Usman harus mengambil aren di pohon yang menjulang tinggi itu.
Setiap hari, Usman yang memulai pekerjaannya sebagai pembuat gula aren sejak usia 15 tahun hingga kini, tak pernah menyurutkan semangatnya memanjat dari pohon enau yang satu ke pohon enau berikutnya. Tak pernah lelah berpindah dari kebun satu ke kebun berikutnya, meskipun kerap pendakian yang begitu berat atau jurang-jurang yang curam.
Di tengah pekat udara dingin atau terik matahari, Usman tetap harus melangkah. Anak-anaknya yang manis serta jstri yang tabah harus tetap dihidupi dengan cara apapun.
Usman dan istri serta anak-anaknya memegang teguh prinsip Siwaliparri yang telah diturunkan oleh para pendahulu. proses panen aren yang dilakukan oleh Usman biasanya berlangsung dari pukul 05.00-10.00, juga kerap dimulai pada jam 03.00 dan kembali akan di panen pada pukul 15.00, sampai petang.
Setelah dipanen, aren yang dihasilkan akan langsung dimasak dalam wajan berukuran besar di atas tungku yang menggunakan kayu bakar.
Aren membutuhkan waktu selama 5-6 jam sampai aren yang tadinya jernih berkeruh benar-benar menjadi kemerahan dan siap dicetak. Proses pemasakan ini akan melibatkan istri Usman, Isa perempuan berusia 33 tahun yang setiap hari menemani suami tercinta ke kebun.
Kekompakan keluarga Usman begitu menyejukkan, serasa manis bagai gula yang tiap hari mereka kelola, keempat buah hati Usman dan Isa ikut menemani dan membantu di kebun.
Jusmiati dan Harmiati kedua putri Usman dan Isa yang berusia remaja, juga tampak lihai dalam membantu orang tuanya saat teman sebayanya mungkin sedang asyik-asyiknya menikmati masa remaja dengan berjalan-jalan atau bersenang-senang.
Keduanya secara bergantian akan membantu mengaduk aren yang sedang mendidih agar busanya tidak luber. Belum lagi si kecil Safina yang baru berusia 3 tahun lebih, usianya yang masih sangat kanak sedikitpun tidak menganggu pekerjaan ibunya bahkan terlihat ia ikut menyusun cetakan yang terbuat dari tempurung kelapa.
Sedang putra satu-satunya, Yusran yang baru duduk di kelas dua SD, akan dengan sabar menemani bapaknya membelah kayu bakar sampai selesai agar dapat jatah untuk ditemani main bola di sela pekerjaan bapaknya.
Bagi anak-anak Usman, membantu ibu dan bapak adalah bahagia yang tak bisa dijelaskan, selain rajin membantu kedua orang tuanya anak-anak Usman begitu tekun dan serius dalam belajar. Terlihat dari bagaimana ketiganya (Jusmiati, Harmiati, Yusran) sampai membawa buku-buku pelajaran ke kebun. Sesekali mereka belajar lalu kembali membantu ibu atau bapak saat pekerjaan mulai terasa berat.
Meski pembuatan gula aren tak semanis gula yang dihasilkan, Usman dan keluarga tak pernah mengeluhkan pekerjaan tersebut.
Jika aren yang dituang dalam wadah sudah tidak menyatu dengan air itu artinya aren siap dicetak untuk menjadi gula. Hanya menunggu beberapa menit, aren yang dicetak akan mengeras dan siap dilepas dari cetakan dan menjadilah gula aren atau masyarakat lokal lebih mengenal istilah Golla Mamea atau gula merah.
Gula aren tinggal menunggu waktu sampai dingin, barulah dibungkus dengan menggunakan daun pisang kering, daun pisang akan memberikan aroma tersediri pada gula aren yang akan dipasarkan.
Usman dan keluarga, dalam satu hari biasanya menghasilkan gula aren sebanyak 7-10 Kg, yang nantinya akan dijual seharga Rp. 11.000/kg. Usman mengakui bahwa kebun dan pohon enau yang dikelolanya bukan milik pribadi, harus tetap berbagi hasil dengan si tuan tanah. Untunglah tuan tanah tak memakai sistem kapitalisme yang akan menguras keluarga Usman, pembagian hasil dilakukan dengan cara 4:1.
“Kan ini kebunnya orang kita kerja, jadi dalam lima hari itu kita bagi hasil, kita yang ambil uang penjualan selama empat hari, satu harinya itu diberikan sama pemilik kebun,” kisah Usman.
Meski dengan penghasilan yang pas-pasan Usman dan keluarga tetap bersyukur. “Alhamdulillah kalau ada rezeki, ya disyukurii, kalo nda ada tetap juga disyukuri,” ungkap Usman lagi. Semoga kelak Jusmiati, Harmiati, Yusran dan Juga gadis kecil Safina, merasai manis hidup atas jerih paya dan ketabahan kedua orang tuanya.
Di akhir pecakapan penulis keluarga ini, kebaikan dan kemurahan hatinya keluarga Usman tampak begitu jelas, meski baru berjumpa beberapa jam bungkusan gula aren diserahkan istri Usman kepadaku sambil menatap manis. Bagiku keluarga baru selalu menjadi oleh-oleh terbaikku di setiap perjalanan. (*)