Tur di Kota Tua, Majene (3)

Bangunan Kantor Pos Majene sejatinya adalah bangunan Belanda tapi sudah mengalami perombakan. Foto Muhammad Ridwan Alimuddin

Oleh: Muhammad Ridwan Alimuddin, Pemerhati Sejarah Mandar

DARI Lembaga Pemasyarakatan Majene, ke arah selatan, menyusuri Sungai Majene sampai muara tidak sampai 500 meter. Sebelum sampai muara, didapati Pusat Pertokoan Majene, yang sekarang bisa dikatakan menjadi pusat Kota Majene. Di belakang Pusat Pertokoan ke arah laut, adalah pasar ikan Majene. Di sekitar ini sampai ke arah barat (sekarang Kantor Syahbandar dan Terminal Majene) dulunya adalah tempat gudang kopra. Baik yang dimiliki Belanda maupun bangsawan Majene yang juga berbisnis kopra. Bisa dikatakan dari sini hingga satu kilometer ke arah barat adalah pusat kawasan Kota Tua Majene.

Di seberang jalan depan Kantor Syahbandar dan Terminal Majene adalah jejeran rumah yang dulunya semua bergaya Eropa/Belanda. Mulai dari kediaman Paqbicara Banggae yang persis berada di sudut hingga rumah jabatan Wakil Bupati Majene. Dari sekian rumah tersebut, sebagian besar sudah digantikan dengan model baru. Yang masih dikenali dengan mudah adalah kediaman dokter anak dan rujab wakil Bupati Majene. Kantor Pos Majene yang ada di situ juga dulunya bermodel Eropa.

Renovasi membuat hilangnya ciri khas bangunan Eropanya. Rumah Jabatan Wakil Bupati Majene juga pernah direnovasi. Tapi dinding, pintu dan jendela masih dipertahankan. Hanya bagian atap yang diubah, menjadi model atap rumah tradisional Mandar. Di halaman rumah jabatan teronggok dua meriam tua. Kemungkinan besar peninggalan sebelum abad ke-19, ketika meriam model begitu masing menjadi senjata andalan.

Yang menarik di rumah Paqbicara Banggae, meski dari luar tidak nampak lagi sebagai bangunan bergaya Eropa, tapi di dalam rumah ada beberapa benda yang berkaitan erat dengan jejak Belanda di Majene. Penghuni rumah, yakni Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Majene, Hj. Andi Beda dan ibunya, masih menyimpan beberapa peralatan makan, seperti piring, gelas, mangkuk dan lain-lain.

Beberapa porselen yang ada di situ bercap luar negeri, seperti Cecho Slov, Porcelen Cerabel Made in Belgium F. S. D, Thomas Bavaria, dan Societie Ceramique Maestricht Made in Holland. Berdasar pelacakan di internet, merk-merek tersebut memang adalah merk porselen atau keramik di beberapa negara di Eropa. Thomas Bavaria sebagaimana bentuk cap di belakang digunakan di antara tahun 1908 dengan 1939. Sedangkan Societie Ceramique Maestricht Made in Holland sejarahnya adalah perusahaan keramik yang didirikan Winand Nicolaas Clermont dan Charles Chainaye pada tahun 1851. Perusahaan keramik tersebut diambil alih pada tahun 1859 oleh insinyur Belgia Guillaume Lambert.

Empat tahun kemudian menjadi perseroan terbatas yang secara umum dikenal sebagai ‘Société Céramique’. Di bawah direktorat Victor Jaunez (1863-1913), insinyur PJ Lengersdorff (1902-1915) dan Edgar Michel (1915-1954). Sama halnya Porcelen Cerabel Made in Belgium Eigendom F. S. D, adalah pabrik porselen dari tahun 1842 hingga 1977. Pabriknya berlokasi di Baudour, Belgia dan membuat benda-benda indah.

Bukan hanya porselen, cerita menarik yang berkaitan dengan (kediaman) Paqbicara Banggae adalah mobil di beberapa dokumentasi Belanda di tahun 1930-an. Ada beberapa foto yang memperlihatkan dua mobil “Willys” yang melintas di jalan Majene serta saat menyeberang di Sungai Malunda. Menurut informasi keluarga Paqbicara Banggae, di masa itu hanya ada dua mobil milik pribumi di Majene, yaitu Paqbicara Banggae dan Maraqdia Sendana.

Saat ditanyakan ke cucu Paqbicara Majene (ibunda Hj. Andi Beda) yang masa kecilnya pernah mengendarai mobil pertama di Majene, dia mengatakan mobilnya mobil ‘wilis’, atapnya bisa dibuka. Ternyata salah satu mobil sesuai dengan yang ada di foto. Ternyata mobil itu juga yang menyebabkan Paqbicara Banggae meninggal dunia. Pasalnya dia tertabrak mobil itu di depan rumahnya. Mobil mundur di halaman rumah (yang waktu itu memang agak menurun kontur tanahnya) lalu menabrak si pemiliknya.

Di samping kiri (timur) Rumah Jabatan Wakil Bupati Majene ada Gedung Assamalewuang, landmark Kota Majene. Sekarang menjadi pusat kegiatan, misal seminar, pernikahan, wisuda dan lain-lain. Sebelum menjadi gedung serbaguna, dulunya adalah tempat Kantor Bupati Majene yang belakangan dipindah lebih ke barat.

Nama gedung “Boyang Assamalewuang” yang selesai dibangun 1993 diberi nama oleh Andi Syaiful Sinrang, penulis buku dan budayawan. Pengusulan nama terjadi ketika Kalma Katta (mantan Bupati Majene; waktu itu menjabat Kepala Dinas PU Majene) memperlihatkan desain gedung ke Andi Syaiful Sinrang. Awalnya diusulkan “Allewuang”, kemudian “Assamalewuang”.

Adapun di sebelah kanan adalah kompleks militer Yonif 721. Dulunya tangsi militer Belanda. Pada Maret 1947, salah seorang pejuang bernama Maryono dipenggal kepalanya kemudian diawetkan dan digantung di antara Gedung Assamalewuang saat ini dengan Kantor Pembantu Gubernur Wilayah I. Di seberang jalan depan Gedung Assamalewuang adalah Taman Kota Majene, pinggir pantai Teluk Majene. Kawasan ini adalah Pelabuhan Majene. Beberapa dokumentasi tahun 1900-an sampai 30-an memperlihatkan kawasan pelabuhan ini.

Kemungkinan besar, alasan utama sehingga Majene menjadi ibukota Afdeling Mandar adalah karena perairannya bisa aman dilabuhi baik perahu layar tradisional ukuran besar maupun kapal uap Belanda. Berbeda dengan pelabuhan Kerajaan Balanipa yang berada di seberang muara Sungai Mandar. Perairannya dalam dan tidak ada teluk yang bisa menjadi tempat perlindungan kapal KPM Belanda saat berlabuh. Di Majene, selain ada Pelabuhan Majene juga ada Pelabuhan Pamboang, yang menjadi pelabuhan alternatif jika ombak besar di musim timur.

Belakang kompleks militer, sedikit di atas kaki bukit Salabose terdapat Museum Mandar. Dulunya adalah Rumah Sakit, yang dibangun 1911. Dalam peta Belanda 1935 tertulis “Hospitaa”. Bangunan yang oleh masyarakat Majene diberi nama “Boyang Tomongeq” (rumah orang sakit) diubah menjadi Museum Mandar di tahun 1983 atas prakarsa Suradi Yasil, budayawan Mandar kelahiran Limboro (Polewali Mandar) yang waktu itu menjabat Kepala Seksi Kebudayaan di Kantor Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Majene (masa pemerintahan Bupati Alim Bachrie, 1973 – 1985).

Beberapa meter di belakang Museum Mandar ada juga jejak bangunan peninggalan Belanda. Masih bagian dari Rumah Sakit Majene silam, yakni sebagai tempat perawatan pasien sakit jiwa. Belakangan pernah dijadikan asrama militer. Saat ini terbengkalai.

Jika mendaki naik ke punggung sampai puncak Buttu Salabose, maka yang bisa dilihat adalah beberapa situs tua yang berkaitan dengan Kerajaan Banggae dan Islam di Majene. Meski tidak terlalu berkaitan erat Majene sebagai “Kota Tua”, akan dituliskan juga sekilas di sini.

Ada makam Tomakaka Poralle, diyakini oleh masyarakat bahwa inilah tempat dimakamkan Tomakaka Poralle. Makam tersebut terletak di sebelah utara berjarak sekitar 40 meter dari Mesjid Kuno Salabose. Bangunan makamnya baru terbuat dari tembok batu bata yang di semen berciri makam Islam. Ada juga kompleks Menhir yang terdiri atas 11 buah batu tegak yang ditancapkan, disekelilingnya terdapat susunan batu berbentuk segi empat.

Lokasi tersebut berada di Kampung Tambung dalam kawasan Salabose yang diyakini sebagai tempat pemakaman keluarga Maraqdia Banggae pertama (Tomerrupa-rupa Bulawang). Pendapat lain mengatakan bahwa kompleks Menhir ini adalah tempat pelantikan Maraqdia Banggae oleh Appeq Banua Kaiyang.

Bersambung.