Oleh: Muhammad Ridwan Alimuddin, Pemerhati Sejarah Mandar
MAJENE berjarak sekira 140 km dari Mamuju, ibukota Sulawesi Barat di utara; 300 km dari Makassar, ibukota Sulawesi Selatan di selatan. Dari Mamuju menggunakan mobil durasinya lebih tiga jam. Dari Makassar dua kali lipatnya, tujuh jam. Meski demikian, orang dari luar Sulawesi akan lebih mudah dan cepat akses bila lewat Makassar. Sebab penerbangan ke Makassar dari kota-kota utama di Indonesia lebih sering dibanding ke Mamuju. Dari bandara Mamuju pun akses kendaraan darat, misal untuk rental mobil atau mobil reguler yang akan ke Majene, tidak sesering dan tidak semurah bila dari Makassar.
Kota Majene memiliki beberapa hotel dan atau penginapan. Beberapa sudah bisa diakses di pemesanan online, tapi sebagian masih pesan manual. Misal menelpon atau datang langsung. Yang paling terkenal adalah Hotel Villa Bogor Leppe yang terletak di atas tebing karang di Teluk Majene. Lokasinya dari jalan Trans Sulawesi tak jauh, kurang dua kilometer saja.
Di timur Kota Majene ada Kota Tinambung, berjarak lebih kurang 10 kilometer. Antara Tinambung dengan Majene sekarang ini terpisah administrasi sebab Tinambung masuk wilayah Kabupaten Polewali Mandar. Tapi dulu, meski masing-masing adalah kerajaan tersendiri (antara Kerajaan Balanipa untuk Tinambung dan Kerajaan Banggae untuk Majene), membicarakan kesejarahannya satu tarikan nafas. Tak bisa dipisahkan. Misalnya di tulisan tentang perjuangan Ammana I Wewang melawan Belanda yang menjadi paragraf penting di pembicaraan Majene sebagai Kota Tua.
Ammana I Wewang lahir di Lutang, dulu masuk wilayah Kerajaan Banggae dan sekarang masuk wilayah Kabupaten Majene. Tapi orang tuanya dari Kerajaan Alu, yang sekarang salah satu wilayah (juga nama kecamatan) di Kabupaten Polewali Mandar. Ammana I Wewang bersepupu satu kali dengan I Juara Maraqdia Banggae, demikian juga I Latta Maraqdia Pamboang, serta I Rukka Luqmu Toditatta Maraqdia Sendana adalah keponakannya (dulu ketiganya nama kerajaan, sekarang nama kecamatan). Dia pun pernah menikah dengan wanita dari Tande Majene yang mana keluarga besar wanita tersebut juga adalah pendukung perjuangannya melawan Belanda. Tiba dari pengasingan, Ammana I Wewang tiba di Baqbabulo Majene, tapi kemudian bermukim dan wafat di Limboro, Kabupaten Polewali Mandar.
Bahkan, empat dari lima Bupati Majene ‘angkatan pertama’ lahir/berasal di Kerajaan Balanipa atau Kabupaten Polewali Mandar, yaitu Baharuddin Lopa (pertama), Abdul Rahman Tamma (ketiga), Abdul Rauf (keempat), dan Abdul Malik Pattana Endeng (kelima). Jadi, ketika membicarakan Majene sebagai Kota Tua, Kerajaan Balanipa khususnya Tinambung juga harus dimasukkan. Di atas baru sedikit contoh. Beberapa peristiwa besar juga menghubungkan keduanya, misalnya ‘Panyapuang di Galung Lombok’, pembunuhan massal penduduk dari Majene dan dari Polewali Mandar oleh Pasukan Westerling di Galung Lombok (wilayah Kabupaten Polewali Mandar).
Kota Tinambung ada beberapa situs yang menjadi jejak keberadaan Belanda di kawasan ini. Saat ini masih ada dua rumah yang konstruksinya model Eropa. Keduanya terletak di sekitar Mesjid Al Huriyyah Tinambung. Satu berada di kaki Buttu Sallombo, satunya berjarak 100 meter dari Sungai Mandar.
Sekedar catatan, beberapa ratus tahun silam di atas Buttu Sallombo pernah terjadi perang antara Daeng Rioso bersama bangsawan dari Kerajaan Banggae (Majene) melawan pasukan Arung Palakka yang bersekutu dengan VOC Belanda. Olehnya, maraqdia atau raja Banggae itu diberi gelar anumerta “Tomatindo di Sallombo”. Di atas Buttu Salombo dapat disaksikan situs makam Raja-raja Balanipa, mirip situs Raja-raja Banggae di Buttu Ondongang di Majene.
Di kota Tinambung adalah tempat kelahiran dan tempat menempuh pendidikan beberapa tokoh Mandar, termasuk empat bupati Majene yang disebutkan di atas. Kediaman Abdul Malik Pattana Endeng berada dekat perempatan lampu merah Kota Tinambung, beberapa puluh meter dari Jembatan Sungai Mandar jika akan melakukan perjalanan ke Majene. Didekatnya, tepatnya di dekat sudut bekas Pasar Tinambung, adalah lokasi kejadian ketika Andi Depu mempertahankan bendera merah putih.
Peristiwa yang kemudian dikenang dengan Patung Andi Depu dekat Lapangan Tammajarra Tinambung, 300-san meter dari Sungai Mandar. Kediaman keluarga almarhum Abdul Malik dulunya adalah istana Kerajaan Balanipa, ketika orang tua Abdul Malik Pattana Endeng menjabat sebagai raja Kerajaan Balanipa yang belakangan juga dijabat oleh kakak Abdul Malik Pattana Endeng, Andi Depu. Bekas pondasi istana yang bangunannya juga mirip bangunan Eropa masih bisa ditemukan saat ini. Bangunan sempat mengalami kerusakan parah sewaktu terjadi gempa bumi besar di Tinambung di tahun 60-an.
Mengarah ke Majene, berjarak 4 km dari Tinambung adalah tugu perbatasan Kabupaten Polewali Mandar dengan Kabupaten Majene. Di sini ada Gedung Tasha Center, yang didirikan almarhum Tashan Burhanuddin, mantan Sekretaris Kabupaten Majene dan Sekretaris Provinsi Sulawesi Barat. Di samping gedung ada jalan menuju Tande. Jarak ke Tande lebih 3 km. Dulunya di Tande tempat pertemuan Ammana I Wewang dana beberapa pejuang lainnya membicarakan rencana penye-rangan ke tangsi militer Belanda pada Juni 1906.
Dari perbatasan Polewali Mandar – Majene akan langsung masuk wilayah Lutang. Di Lutang-lah tempat kelahiran Calo Ammana I Wewang. Persis titiknya di mana belum diketahui, tapi yang jelas agak ke dalam, dekat bagian berbukit-bukit. Bukan persis di lokasi perumahan, sebab dulunya di bagian ini adalah hutan bakau yang kemudian dikonversi jadi tambak tradisional lalu perumahan, sekolah dan perkantoran.
Lutang adalah jadi bagian penting dalam sejarah raja-raja Balanipa. Selain tempat kelahiran Ammana I Wewang, salah satu raja Kerajaan Balanipa yang juga raja terakhir sebelum sistem kerajaan dihapus di Nusantara, memilih dimakamkan di salah satu kampung di Lutang yaitu Puccoqbo, yaitu Puang Monda. Salah satu jalan di Lutang mengabadikan namanya, yang juga mengarah ke kuburannya.
Bersambung.