(Catatan Perjalanan Fam Trip Sulbar Marasa 1)
Laporan: Putra Ardiansyah, Pegiat Wisata dan Pemerhati Lingkungan
Sudah sejak lama saat terakhir kali ke Mamasa 10 tahun yang lalu, meski tidak banyak berubah dari wajahnya, Mamasa memang selalu khas dengan segala isinya. Di sini malam tak seramai di kota-kota lainnya di Sulbar, tapi justru itu yang menghadirkan rasa damai, tidak ada bising atau hal lainnya yang mengganggumu menikmati dingin malamnya.
Kami menginap di Guest House, namanya Anoa, penginpan sederhana yang tidak jauh dari pusat kota Mamasa. Kami stay di sini untuk kemudian besok pagi melanjutkan Trip ke Tondok Bakaru, sebuah tempat yang setahun terakhir lagi viral di kalangan pencinta wisata, sekilas jika melihat postingan-postingan para pejalan di medsos, Tondo’ Bakaru dengan lanskap sawah berpadu dengan perbukitan memang layak jadi favorit, apalagi kabarnya disana ada perkebunan anggrek, bunga yang saat ini diminati hampir 90% ibu-ibu di Indonesia.
Karena malam kuhabiskan di Café persis dibelakang Guest House Anoa dan tidak ingin cerita apa saja yang kulakukan di dalam sana, singkat cerita kami kumpul pukul 05:30 pagi, di lobi, sudah ada beberapa peserta, tapi pandanganku tertuju pada seorang perempuan muda berambut hitam dengan hiasan mahkota silver di kepalanya, bajunya khas bergaya kelelawar berwarna merah terang, dengan jeans biru dipadu sepatu kets putih dan dibalut dengan salempang bertuliskan “Putri Wisata Sulbar”, yah siapa lagi kalau bukan si Dira, gadis Mamasa yang belakangan kuketahui juga seorang mahasiswi Unasman yang saat ini lagi berkompetisi di dunia peagent Putri Wisata.
Dira akan menjadi guide kita hari ini, tepat sekali, ini sekaligus sebagai bahan belajar dan latihan sebab seorang Duta Wisata mesti harus tau dan bisa menjelaskan tentang objek wisata yang ada di daerahnya.
Seperti biasa, Indonesia karetnya luarbiasa meski kita bersepakat akan berangkat jam 05:00 pagi, tetap saja kami telat setengah jam, lebih malah. Bergegas mobil yang kami tumpangi menembus kabut tipis Mamasa di pagi hari. Di perjalanan kami melewati sebuah gereja megah berwarna coklat muda, kuintip dari jendela mobil, Gereja Katolik Paroki St. Petrus, Gereja yang dibangun sejak 1967 ini sepertinya sudah menjadi Gereja terbesar di kota Mamasa.
Ok lanjut, sudah terlalu banyak terkagum kagum melihat suasana di sepanjang jalan, akhirnya tibalah kami di sebuah kawasan hamparan persawahan yang luas, tempat yang dikelilingi oleh pegunungan hijau yang menjulang. Yah inilah Tondok Bakaru, sebuah desa yang terletak di kawasan perbukitan dan berbatasan langsung dengan Tanah Toraja di Sulawesi Selatan, jaraknya sekitar 1,5 km dari Kota Mamasa.
Tanpa babibu kuabadikan semua landscap dengan kamera smartphone seadanya, juga minta difoto sama bang Sastra, fotografer andalan Polman, ada yang bilang bahwa 50 % wajah orang Polman sudah pernah dibidik oleh lensanya. Kebayang kan…
Kami berjalan mendaki di kaki-kaki pepohonan pinus, menuju ke Citol Hill, dari bukit di kaki Gunung Mambuliling ini terbentang panorama menawan keindahan alam wilayah Bumi Kondosapata. Kabarnya jika menginap disini dan terbangun di pagi hari, maka hamparan sawah di bawah sana tertutup oleh karpet awan, sayangnya kami hanya menyaksikan sisa-sisa awan yang ada, yah matahari sudah mulai menerangi perbukitan, di sini ada beberapa spot foto, meski secara kasat mata model seperti ini sudah sering kulihat di objek-objek wisata di Jawa, tapi tak apalah, yang penting pemandangannya berbeda, saya melihat Tondok Bakaru memang khas, tak ada duanya lah “kugombalki tondok bakaru”
Di sebuah spot foto berbentuk sarang burung, lamunanku yang sejak tadi menatap ke arah hamparan sawah di bawah sana tiba-tiba buyar sebab salahsatu papan pijakannya goyah, jelas tempat ini serasa jarang dikunjungi, tidak lain dan tidak bukan memang karena pandemi yang saat ini masih berlangsung, bahkan pandemi mulai mencoba eksis kembali saat semua dari kita sudah hampir tak peduli lagi dengannya, pandemic covid 19 ini meluluhlantahkan pariwisata, tidak terkecuali si Cantik Tondok Bakaru ini.
Begitu asik berdiam diri akhirnya aku berlari mengejar rombongan lainnya yang sudah lebih dulu berjalan ke lokasi selanjutnya, terlalu jauh dan mendaki dan akhirnya tibalah saya di satu tempat bertulisakan Villa Edelweis.
Perlahan aku berjalan memasuki gerbang para-para dengan dedaunan rimbun di atasnya, lalu terlihatlah sebuah pondok kecil yang di sekitarnya dihiasi beberapa Anggrek, juga ada gazebo berbentuk segi tiga lalu yang paling menarik adalah instalasi spot foto berbentuk perahu yang terbuat dari bambu,persis menghadap ke area persawahan dengan panorama berbukitan khas tondok bakaru. Perahu terseut di juluki ‘Perahu Cinta’ oleh para pemuda di Mamasa.
Usut punya usut ternyata Pak Petrus Ari, si pemilik villa mempunyai seorang anak laki-laki yang saat ini bekerja di Amerika, di kapal pesiar, itulah kenapa Pak Petrus membuat spot foto sperti ini, sebagai pengobat rasa rindu terhadap anaknya yang jauh di sebrang benua. Selain itu di dinding luar pondok villa milik Pak Petrus ini terpampang alat musi bambu khas Mamasa, kalau tidak salah namanya Pompang, salahsatu alat musik tradisional favoritku, suka sekali melihat tarian Mamasa dengan iringan musik bambu ini, dan diantara alat musik itu tertempel sebuah foto berukuran poster, seorang laki-laki muda yang jika dilihat dari latar fotonya dia berada di luar negeri, yah, mungkin dialah anak Pak Paetrus yang di Amerika itu.
Di sini kami disuguhi Kopi & Teh, ditambah dengan Singkong besar dengan cocolan sambal pedas, nyamanna… massipa’ nasanga tomandar. Yang lain sibuk wawancara dengan para Putri-Putri pariwisata yang memang tergabung dalam peserta Fam Trip Jelajah Sulbar Marasa 1 yang saat ini kami lakukan. Selain wawancara para wartawan juga ngantri foto dengan putri-putri, semua berfoto, kecuali saya dan Sastra, bukan tidak mau, hanya saja malu, mungkin karena kami memang tidak terbiasa meminta berfoto dengan cewek-cewek cantik. Kecuali kalo ada kesempatan dengan momen yang tepat yaa bolehlah sedikit heheh.
Selanjutnya kami bergeser lagi ke objek berikutnya yaitu Hutan Pinus Tondok Bakaru Mamasa. Objek wisata yang dikelolah oleh warga lokal bernama Pak Benyamin ini awalnya bukan tempat wisata, 20 tahun yang lalu dia menanam dan merawat pohon pinus ini, tau-taunya sekarang sudah jadi tempat wisata, luasan hutan pinus ini berkisar 2 hektar. Dengan berbagai spot foto dan dilengkapi banyak tempat duduk untuk istirahat, menjadikan ini jadi hutan pinus favoritku sekarang, di Polman dan Majene memang ada juga pohon pinus, namun disini pengelolah jauh lebih kreatif untuk mengembangkan daya tariknya, dan itu terlihat jelas dengan objek-objek foto yang keren dalam lokasinya. Kabarnya Hutan pinus ini mulai dikenal Desember 2019 lalu saat tempat ini didaulat menjadi Kampung Natal.
Kami tidak berlama-lama disini, tidak ada aktifitas lain yang bisa dilakukan selain berfoto, selanjutnya kami menuruni perbukitan pinus melalui jalan yang lumayan curam, tempat ini belum dilengkapi akses jalan yang aman sehingga saat naik dan turun resikonya bisa tergelincir, sepertinya memang suatu keharusan memakai sepatu atau jenis sandal gunung jika ingin kesini.
Kami semua bergegas ke bawah dengan di iringi nyanyian pagi dari salahsatu peserta Fam Trip yang memang sejak dalam perjalanan dari Mamuju dialah yang paling sering bernyanyi, Seorang Ibu-ibu berdarah Toraja, kuakui suaranya memang bagus, jadi sah-sah saja.
Tibalah di objek kujungan terakhir kami Tondok Bakaru, Kawasan yang berdiri di atas persawahan nan hijau, namanya SAWO, singkatan dari Sawah dan Orchid. Tempat ini memang secara khusus adalah tempat budidaya anggrek, ada sebuah Green House yang di dalamnya mengoleksi puluhan bahkan ratusan Anggrek, jelas saja itu anggrek yang dijual, kisaran harganya mulai dari 150 ribu hingga 10 juta rupiah, wow harga yang sangat fantastis bagi kalangan bukan penyuka anggrek sepertiku. Di sini kadangkala ada wisatawan mancanegara yang datang, mereka memang dari kalangan pencinta anggrek, hingga mereka rela datang jauh-jauh ke Mamasa hanya untuk melihat jenis-jenis anggrek, bahkan kabarnya disini ada 2 jenis anggrek yang endemik.
Mereka juga mempunyai sistem adopsi anggrek untuk wisatawan, jadi wisatawan membeli anggrek tapi tidak untuk dibawa pulang, melainkan diberi label nama dan dibesarkan disini, sewaktu-waktu para pemilik anggrek bisa datang kembali dan melihat perkembangan anggreknya. Sebuah konsep pemasaran yang jitu dan unik, percaya atau tidak, kabarnya banyak wisatawan mancanegara yang benar-benar mengadopsi anggrek-anggrek disini.
Perjalanan Mamasa ini kututup dengan berjalan di tengah jalan Tondok Bakaru merasakan semilir angin yang dingin, di sini aku merasa sangat jatuh cinta, hingga kusemai rindu, agar besok bisa kembali. Tondok Bakaru, pesonamu sungguh memukau hingga ke relung-relung hati terdalamku, tunggu aku kembali setelah membawa cerita ini pada semua orang yang penasaran dengan indahmu…
Foto:Sastra Trotoar