Oleh: Sahabuddin Mahganna, Pelaku Seni Tradisi
Bunyi-bunyian itu mengiringi kehidupan rakyat Mandar di Balanipa, kemudian akhir-akhir ini banyak perdebatan bahkan mengusik ketentraman jiwa para pelaku kebudayaan. Eksistensi yang tidak sesuai dengan kebutuhan seperti semula itu, menuai sorotan publik hingga tidak jarang yang mengecam sebagai pergeseran nilai.
Bunyian kadang dilahirkan untuk kepentingan individual, pelan menjadi kebutuhan banyak manusia dalam menyambung hidup, penghubung pada sang pencipta, hiburan atau aktivitas lainnya. Namun cerita jadi lain sebab perubahan dari masa ke masa membawa dampak positif maupun negatif di setiap amatan tertentu.
Terkhusus di Balanipa, bunyi kerap kali ditemukan untuk permainan hiburan, tetapi mungkin kurang tepat jika ia ditanggap sebagai hiburan mutlak, ada kalanya ia diperhadapkan dengan metode pensucian jiwa atau menjadi obat, sehingga tak bisa disebut satu satunya jalan untuk mencapai target evoria atau penghasil materi.
Kebudayaan musik mempengaruhi proses pertumbuhan hidup, jadi tidak mungkin dilakukan hanya semata-mata hanya hiburan, melainkan mendampingi, atau sebatas bunyi lalu menyeret manusia untuk kemudian memanfaatkan serta membawanya ke posisi tertuduh sebagai penyebab rusaknya tatanan.
Rebana pengiring pengantin dan Saeyyang Pattu’du’ paling menonjol dari sorotan itu, dahulu penggunaannya telah dianggap baik-baik saja, tapi karena perkembangan penyajian, kemudian dinilai pelecehan budaya. Dari sini kita dapat melihat, betapa penting mengkaji pertunjukan musik Nusantara satu ini.
Pertunjukan Rebana karnaval (petindor), memang awalnya dikatakan mattindorri (mengikuti), hal itu kemudian berubah letak formasi pemain, yakni berada di hadapan kuda, sementara dulu berada di belakang kuda, saya kira itu sah-sah saja, sebab pada prinsipnya tugas bunyi rebana hanya untuk mengiringi. Letak posisi itu tak harus dipermasalahkan, sebab pertunjukan menyuguhkan tiga item sajian yang dipadukan secara beriringan: Saeyyang Pattu’du’, Rebana (musik pengiring) dan Kalinda’da’. Ketiganya menjadi tim dan itu tak serta merta bentuk harus mutlak.
Mengenai perubahan tabuhan dan penambahan jumlah bebunyian, hampir semua komunitas rebana di Balanipa dan sekitarnya pada tempat tertentu, menjadi alasan mendasarnya untuk kepentingan ritmis, sehingga permainan rebana yang dulu menjadi jarang dan dianggap eksotis.
Pencampuran itu awalnya tak lain karena perkembangan zaman, menganggap Tamborin (Ricci), Sinar drum (Jess) dan Simbal sebagai alat penambah kekuatan ritmis dalam kelompok, atau melakukan eksplorasi untuk kemudian menjadi pembeda dengan yang lain, hal demikian boleh jadi lebih menginginkan suatu tambahan daya tarik bagi mereka para penonton yang memiliki jiwa modern. Sementara kelompok yang masih bertahan dengan pola ritmis awal, menganggap dirinya sebagai suatu sistem tradisi yang tidak bisa diubah.
Dalam jenis tabuhan, bagian pola ritmis yang dimainkan dengan cara duduk, atau yang rata-rata dilakukan di atas rumah, kita banyak mengenal pola ritmis Guru’da, Tallu-tallu, Tama-tama, Kanjar dan Tanangka. Sementara untuk karnaval, pola yang digunakan adalah pola ritmis Petindor, dan menjadi karakteristik tersendiri.
Seiring dengan kemajuan, jenis Petindor jarang digunakan oleh kemunculan pola tabuhan Panette’, yang secara khusus menghadapi tantangan sebab gaya dan pola ritmis yang dibangun terdapat situasi dimana para pendengar menganggap tiruan dari musik bergenre dangdut. Dari sini para pelaku rebana menambah bunyi lain karena menganggap hal demikian sebagai jalan keluar dari pakem rebana yang semula menjadi permainan pola musik rebana baru (Kontemporer) . Namun demikian itu menjadi populer dan nyata bahwa pelaku budaya rebana telah menginginkan situasi tersebut secara alami. Hal demikian itu meski olahannya nampak mendomestikasi.
Instrumen Mars dan simbal dari Portugis itu adalah instrumen bunyi, yang pada dasarnya merupakan suatu membran dan besi tipis yang embrionya dari luar. Hanya saja masyarakat Balanipa mengantar keduanya menjadi lebih mudah dilihat sebagai pola ritmis permainan musik tradisi lokal mereka.
Problem inti ketika permainan hiburan rebana di Balanipa ternilai menonjol . Kalinda’da’ sebuah puisi tradisi yang menggunakan model pantun menjadi tambahan baru, juga menjadi ancaman punahnya intonasi atau karakter. Lalu Saeyyang Pattu’du’ melakukan antraksi dengan sengaja melatih antraksi kuda dengan model Zorro. Lalu yang menjadi khusus, sebab penyajian dulu secara sadar menempatkan tangan pemain terhadap membran kulit dengan istilah De’de.
Kata De’de secara halus dan dipilih bagi pelaku, oleh karena De’de merujuk kepada kata memukul, kendati demikian perlakuan memukul terdapat beberapa macam dalam bahasa lokal Balanipa Mandar yakni 1. De’de (melakukan dengan pertimbangan rasa) 2. Tuttu (melakukan dengan sedikit ketegasan) 3. Lappis (melakukan dengan sedikit emosi) 4. Gimbal dan Janggur (melakukan dengan emosi berat).
Pelaku Rebana Balanipa Mandar sebagian telah acuh dalam permainan menggunakan De’de, itu boleh jadi karena mereka tidak ahli atau hanya iseng memainkan, atau pula karena kebutuhan kerasnya tanpa mempertimbangkan dinamika. Kejadian tersebut boleh jadi karena paksaan. Jadi setiap pemain sebenar-benarnya harus memahami terlebih dahulu sebelum bergabung dalam kelompok.
Sesungguhnya perlu dipahami. Setiap kelompok rebana tetap ada yang melakukan sesuai pakem saat mereka melakukan permainan dalam bentuk Karnaval, dan meski itu hanya beberapa orang saja, minimal hanya ketua kelompoknya (annangguru parrawana) yang bertahan pada posisinya dengan melagukan syair pujian untuk Nabi, baik itu dari segi model tabuhan maupun antraksi. Sayangnya banyak kemudian penonton terlibat mencampuri pemain atau terbawa pada situasi ritmis lalu ia pun bergoyang.
Secara nilai, keterlibatan penonton dalam karnaval kadang dianggap keliru, sebab mereka bergoyang dengan tidak sadar, padahal dalam permainan tradisi rebana juga dikenal dengan bergoyang atau istilah (Denggo), namun mereka melakukannya pada batas kesadaran dan filosofis.
Pengucapan Kalinda’da’ terlihat lebih besar penggunaan pantun, namun biasanya tetap mendahuluinya dengan intonasi dan tata kelola bahasa semula. Sementara pawang kuda yang menggunakan antraksi Zorro memang akan ada perubahan signifikan sebab gaya dan karakter akan lebih indah dilihatnya, tetapi penunggangnya mesti hati-hati.
Perubahan-perubahan akan tetap ada, sebab masyarakat Balanipa dari dulu dekat kaitannya dengan persentuhan modern, akses masyarakat yang sangat mudah melakukan akulturasi budaya, menjadi penyebab, dan kita mesti siap menyambutnya.
Jadi, tabuhan rebana yang mengalami perubahan ritmis, boleh jadi itu karena dahulu belum sempat modern, alat juga belum sebanyak yang kita jumpai seperti saat ini. Ritmis rebana dengan menggunakan alat eropa anggap saja sebagai perjumpaan atau musik Hibrid, dan kita sebagai pelaku yang menginginkan sesuatu seperti semula kejadiannya, mainkan terus menerus dengan tidak menganggap perubahan menjadi perusak tatanan. Sebab yang rusak dalam hemat saya bukanlah musiknya, namun berada pada kondisi normal penonton maupun pemain yang tidak memahami bagaimana perlakuan yang sebenarnya.
Bunyi Kalinda’da juga demikian, bahwa pelaku sepertinya menggunakan metode bahasa Indonesia dengan intonasi pantun, sebab tayangan hiburan televisi sangat mempengaruhi proses perubahan itu, lalu siapa yang harus disalahkan. Sementara Saeyyang Pattu’du’ ikut mewarnai perjalanan kultur Balanipa juga nampak lebih memprihatinkan dengan antraksi kuda Zorro, sehingga kita semua mesti harus bijak dalam menanggapi tanpa perlu melakukan ketersinggungan publik. Prof. Koentdjaraningrat, bahwa kebudayaan itu riskan untuk berubah, baik itu dari sistim Adat, Ekonomi, Politik, Bahasa, alat, Pakaian dan Kesenian, itu artinya permainan Rebana dan kesenian di Balanipa adalah bagian dari evolusi yang mesti dijaga dan dihormati.