Tentang Fase Rawat Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) Sulbar 2024

Pemanfaatan teknologi modern dapat membantu mengaktualisasikan konsep lumbung dalam penyelenggaraan PKN. Misalnya, menggunakan platform digital untuk menyimpan dan membagikan sumber daya atau untuk mengatur kolaborasi antara peserta yang berlokasi jauh. Teknologi dapat membantu memperluas jangkauan dan dampak PKN, menghubungkan pelaku kebudayaan di seluruh Indonesia dan bahkan internasional.

Prinsip keberlanjutan yang terkandung dalam konsep lumbung mengharuskan PKN untuk selalu mempertimbangkan dampak jangka panjang dari kegiatannya. Ini berarti mengembangkan strategi yang tidak hanya fokus pada penyelenggaraan event secara periodik, tetapi juga pada pembangunan kapasitas jangka panjang dalam komunitas kebudayaan. Tujuannya adalah untuk menciptakan sistem yang bisa terus berkembang dan beradaptasi seiring waktu tanpa bergantung terlalu banyak pada sumber daya eksternal.

Dalam metode pelumbungan, terbagi tiga fase: Rawat, Panen dan Bagi.

Fase Rawat

Fase ‘Rawat’ dalam konteks PKN mewakili langkah awal dan fundamental dalam pengelolaan kebudayaan yang berkelanjutan, bertumpu pada konsep ‘lumbung’ yang merujuk pada pemeliharaan dan penyemaian warisan budaya untuk masa depan. Dalam fase ini, berbagai elemen dan aktivitas kebudayaan dikumpulkan, dianalisis, dan dipersiapkan untuk pertumbuhan selanjutnya, mirip dengan fase penyemaian dalam siklus pertanian, di mana benih dipilih, ditanam, dan dirawat dengan cermat.
Dalam praktik penyelenggaraan PKN, fase ‘Rawat’ melibatkan serangkaian kegiatan yang berorientasi pada pengumpulan dan pemeliharaan warisan budaya, termasuk pengetahuan, seni, tradisi, dan ekspresi kebudayaan lainnya. Ini bukan hanya tentang pelestarian dalam pengertian yang statis, tetapi tentang pemberdayaan aktif dan pengembangan kapasitas yang memungkinkan warisan budaya tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang dan menginspirasi.

Proses ‘Rawat’ dalam PKN bisa mencakup inisiatif-inisiatif seperti diskusi terpumpun tentang tradisi dan adat istiadat, wawancara dengan praktisi kebudayaan, penelitian lapangan, serta pengembangan database yang mencakup rekaman musik, video, dan artefak budaya. Tujuan utamanya adalah untuk menciptakan fondasi yang kuat dari mana budaya bisa berkembang.

Fase Panen

Fase ‘Panen’ dalam PKN merupakan momen krusial di mana usaha yang dilakukan pada fase ‘Rawat’ mulai menghasilkan buahnya. Fase ini adalah tentang menampilkan dan memanifestasikan warisan budaya yang telah dirawat, diolah, dan dikembangkan. Berbeda dengan fase ‘Rawat’ yang lebih fokus pada pengembangan internal dan pemeliharaan, fase ‘Panen’ berorientasi pada pengumpulan seluruh warisan budaya yang telah dirawat sebelumnya, dengan titik tumpu pada pencatatan seluruh proses ‘Rawat’ yang telah terjadi.

Dalam fase ini, seluruh penelitian, catatan diskusi, dokumentasi residensi yang telah dipersiapkan dan dikumpulkan, kini siap untuk diubah menjadi bentuk baru yang bisa dipergunakan oleh publik luas. Bentuk akhirnya bisa begitu beragam, termasuk artikel, makalah, buku, dokumentasi foto dan/atau video sampai juga arsip-arsip yang berisikan kekayaan kebudayaan bangsa.

Fase Bagi

Fase ‘Bagi’ dalam PKN merupakan puncak dari siklus pelumbungan kebudayaan. Setelah proses penanaman (rawat) dan pematangan (panen), tibalah waktu untuk membagikan hasil kepada masyarakat. Fase ini tidak hanya merupakan sebuah tindakan distribusi, tetapi juga merupakan ekspresi dari kebudayaan sebagai entitas hidup yang terus berkembang melalui interaksi antara individu dan komunitas.

‘Bagi’ dalam PKN adalah tentang lebih dari sekadar memperlihatkan hasil-hasil kebudayaan kepada publik. Ini adalah proses dua arah yang melibatkan dialog dan pertukaran yang konstan. Seniman, pelaku kebudayaan, dan komunitas lokal berbagi karya dan pengetahuan mereka, sementara masyarakat dan audiens memberikan respon, interpretasi, dan apresiasi yang memperkaya pemahaman kolektif tentang kebudayaan tersebut.

Dalam fase ‘Bagi’, penting juga untuk mengakui bahwa kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis. Proses pembagian ini mendorong terciptanya kreasi baru, di mana interaksi antara pelaku kebudayaan dan audiensnya dapat memunculkan ide-ide baru dan perspektif segar yang kemudian diterapkan dalam praktik kebudayaan. Ini berarti bahwa setiap fase ‘Bagi’ juga adalah fase ‘Rawat’ untuk masa depan, di mana benih dari kreasi masa depan ditanam.

Selain itu, ‘Bagi’ mengakui pentingnya ruang. Baik itu ruang fisik seperti galeri dan teater, atau ruang virtual seperti media sosial dan platform digital, setiap ruang menjadi penting untuk pertukaran kebudayaan. Ruang-ruang ini tidak hanya sebagai sarana penampilan, tetapi juga sebagai forum di mana komunitas bisa berkumpul dan berinteraksi dengan cara yang berarti.

Fase ‘Bagi’ juga mencerminkan dimensi sosial dari kebudayaan. Dalam konteks Indonesia, di mana masyarakat sangat heterogen, proses pembagian kebudayaan berperan sebagai alat pemersatu dan penggalang identitas nasional. Dengan membagikan kekayaan kebudayaan dari berbagai daerah dan etnis, PKN mendukung pembentukan jaringan sosial yang lebih inklusif dan koheren.

Kontak person: Muhammad Ridwan Alimuddin (081355432716)