Tegang Hadapi Para Sepuh, untuk Kolosal Rawana di Taman Budaya

Oleh: Sahabuddin Mahganna

Setelah festival rebana Balanipa Lamasariang 2007 (59 personil), pembukaan PORDA di Polewali (200), MTQ provinsi di Mamuju Utara (70), kini rawana kolosal dalam 30 grup 300 pemain di Taman Budaya kembali digaungkan.

Rawana (pesisir Mandar) merujuk pada hiburan dan budaya di Tanah Arab, Duff (arab) menjadi instrumen tabuhan selaput tipis Begilot yang direntangkan demi kebahagian, spritual dan ritual.

Semasa Rasulullah Nabi Muhammad Saw. Duff terlibat menggairahkan ummat saat menjemput beliau dari perjalanan antara Kota Mekkah ke Yastrib (Madinah), dari sini konon kemudian melekat dalam citra Islam dan berkembang. Tabuhan membran-membran itu berpengaruh, menyebar hingga ke seluruh dunia, membentuk sistem kreatif bermain sesuai dengan karakter wilayah tempat bunyi ini berlabuh. Duff masuk ke Nusantara mendampingi syiar-syiar yang dirunut untuk sebuah paham dan keyakinan baru diumumkan, bunyi diyakini dari sang ilahi rabbi, ya rabbana. Dan Sulawesi Barat “Rawana”

Cikal bakal Rawana masuk ke Mandar menurut jejaknya cenderung diiring nyanyian pujian zikir dan salawatan, berupaya menarik perhatian massa kendati apresiasi hanya sebatas tertegun ketika itu pada sebuah tampilan terkini, sementara pelaku ritmis awal melakukan dengan khusu sembari menggerakkan tubuhnya, mengajak melakukan aktifitas sesuai yang diucap dan ditampilkan. Rawana pun populer di bumi yang dikenal kuat persaudaraan nya.

Pada persebaran itu, kini melahirkan formasi kolosal dalam ensambel perkusi makro dan besar, mungkin akan dipahami produktif yang termanfaatkan, tetapi jauh dari itu, inti pengaruhnya dinilai telah membangun sikap apropriasi atau menciptakan laku saling memanfaatkan, karena diduga pola main selalu mengisi konsep alunan secara serius dan alami, serta menampakkan wajah ceria, puas ketika menghadapi penontonnya.

Apa yang dipersembahkan di masa silam, membuktikan kemasyhuran dan kepiawaian penabuh dengan melakukan secara ikhlas dan tekun, dicap dalam perjumpaan musik hibrid ini yang meluas dan menjadi kesenian khas Tradisional, menaruh catatan penting sebagai citra kebudayaan berbasis Islam, seolah benda, nyanyian serta tanggung jawab hidup dan matinya, diserahkan sepenuhnya. Mereka menunjukkan totalitas dan ketekunan meski tidak jarang diperlakukan biasa-biasa saja.

Tanpa sadar, sumbangsih identitas dan karakter suatu daerah telah mereka sematkan, semata kebahagian dan pemenuhan spritual murni untuk sekadar ingin meraih ridha sang maha kuasa, memancarkan aura, atau magnet dari pancaran ilahi melalui tabuhan, berpengaruh kuat terhadap yang melihat dan mendengarkan. Paham dan fakta ini akan dirasakan, yang mengharuskan kita hanya mampu diam sembari menyelami ketegangan ketika bunyi rampak harmoni apalagi berhadapan dengan para sepuh.