Tak Kenal Maka Tak ‘Nyoblos’, Mengapa Anak Muda Harus Memilih di Pemilu 2024?

Pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, pemilih muda (rentang usia 17-39 tahun) mulai dipandang sebagai kelompok pemilih “primadona” oleh para peserta pemilu.

Bukan hanya karena mereka jumlahnya yang besar, tetapi juga karena generasi muda dianggap membawa ide-ide baru yang bisa mendorong perubahan.

Pemilih muda, utamanya generasi milenial dan generasi Z, akan menjadi penyumbang suara terbesar dalam Pemilu 2024.

Jumlahnya yang tinggi membuat mereka menjadi salah satu aspek signifikan dan akan sangat berpengaruh terhadap penentuan hasil pemilu. Ini membuat suara generasi muda menjadi bidikan partai politik (parpol) untuk mengeruk suara elektoral.

Paparan informasi dari media juga membuat kaum muda dapat dengan cepat mengetahui perkembangan isu-isu nasional, yang kemudian memungkinkan mereka berpikir, berdiskusi, dan merumuskan berbagai formulasi terkait isu tersebut.

Informasi ini tentunya memberikan dampak positif bagi para kaum muda, menambah dan memperluas pengetahuan mereka.

Pada Ask the Expert episode kali ini, kami berbincang dengan Nina Andriana, peneliti dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tentang bagaimana pentingnya suara kaum muda dan partisipasi mereka dalam Pemilu 2024.

Menurut Nina, dengan tidak menjadi golongan putih (golput) dan dengan menggunakan hak pilihnya, kaum muda bisa terlibat untuk pengembangan kebijakan publik yang memengaruhi masa depan mereka. Selain itu, penggunaan media sosial sebagai sarana diskusi atau membentuk suatu komunitas menjadi wadah penting untuk memantau dan menagih janji-janji kampanye para kandidat maupun parpol yang telah terpilih. (*)

Artikel ini ditulis Rino Putama, The Conversation, Nina Andriana. Terbit pertama kali di The Conversation.