Suara Demokrasi di Persimpangan Jalan

Oleh : Karmila Bakri

Disepenggal hari bau politisasi tercium dari mulut para pencaci, dua kubu saling menegang. Negeri ini butuh pemimpin yang terlahir dari hasil demokrasi kerakyatan. Tentunya seluruh rakyat Indonesia mengharapkan itu.

Mengendap pelan kulangkahkan kaki, di tepian sungai langkah terhenti. Segera kuhampiri seorang petani, kulihat cangkul dibahunya yang kokoh, ini menandakan bahwa bapak baru saja beranjak dari lahannya.

Beranjak kami agak ke tepian sungai, akupun mulai membuka percakapan “pak pesta demokrasi telah usai, namun sesungguhnya demokrasi baru mulai diperjuangkan,”. Celotehku sembari mengikat tali sepatuku. Bapak itu pun menjawab penuh santun ” Iya, nak biarlah urusan politik bangsa ini kita serahkan kepada pakarnya, cukuplah kita menjadi penyimak dan penonton yang bijak, “.

Bapak tani telah berlalu dari pandanganku, sebelumnya dia menepuk pundakku sembari menitip pesan “janganlah berhenti mengasah otakmu nak, sebab kecerdasan otak bisa menjadi modal kita sebagai manusia, tentunya terpenting adalah keseimbangan otak dan hati senantiasa harus terawat, “

Para wakil-wakil rakyat yang terpilih, gandenglah menyangsikan cita-cita demokrasi,sebab disana masih buram. ketika demokrasi hanya berakhir di kotak suara maka pada saat yang sama, demokrasi kerakyatan hanya tinggal isapan jempol.

Gerombolan pemuda teriak diujung corong, urat leher meregang “demokrasi tuntut menuntut dan pada akhirnya berakhir dengan bau kentut”. Teriaklah dengan merdeka bung, namun bukan sekedar teriakan, sebab teriakan tanpa data itu bagaikan pedagang asongan yang lewat, asyik berteriak sana-sini tanpa memperlihatkan produk.

Pemimpin Negeri dan wakil-wakil rakyat serta seluruh perangkat Negara wajib dikritik, jika melanggar kode etik.
Inikan Negara demokrasi, sah-sah saja kita menuntut keadilan yang berkeadilan. Analisisnya haruslah konkret berbasis data.

Bayi tetangga kehabisan susu, nenek kakek digubuk reok sedang bernostalgia, cukuplah sesendok nasi dan sebuah irisan tomat menjadi santapan sahurnya. Menelan nikmatnya rasa syukur.

Harapan tanpa mengemis sebagai simbol kekuatan kepada alam, dimana alam adalah pemberi sumber kehidupan, namun adakah di hati terbesit untuk tidak menjarah alam secara rakus?.

Disana di pesisir pantai,anak-anak nelayan menjerit berteriak lantang. Kami butuh diproduktifkan, tak butuh dihadiahkan tanggul beton. Leluhur telah mendidik kami,mengakrabi laut dengan cara romantis.

Di sana sekolah-sekolah disulap menjadi hutan, sementara hutan-hutan kami digunduli. Hutan dijarah oleh tambang-tambang, tentu ini ngeri dan mengancam. yah, sungguh ironi.

Ayolah kawan kita sama memesrai problem ini. Janganlah kaku, apalagi berselimut duka,karena mantanmu yang bejat itu. Ahh sudah, usaplah kedua kornea mata. Sebab di Negeri ini butuh disentuh dengan gerakan-gerakan produktif.

Mari bersama memesrai realita, karena akan banyak cinta yang hilang. Belum lagi lahan produktif disulap, amdal hanya menjadi pemanis buatan, bukan amdal original. Tentu ini bahaya kawan.

Adakah kita senantiasa bersahabat dengan waktu? Mari membaca setiap ruang, dimana kita teguk sari pengetahuan, bukan menerima virus memecah kebersatuan.

Beragam otak beda isi kepala,namun hadirnya bisa ketemu lewat diskusi. Hingga melahirkan kesepahaman, ini bukan tentang kejagoan berdebat. Keluarlah dari zona nyaman, jangan biarkan gerak terpenjara.  Kau pantas merdeka bernalar dan bergerak.

Yah, sederhana saja kawan, kalau ide tidak mampu bertemu lewat diskusi. Maka silahkan acungkan kepalan tangan.
Bersegeralah membangunkan penguasa yang tertidur pulas. Ahh, kita sama kawan. Keinginan menyatu untuk menikmati kedamaian dan kesejukan dalam berdemokrasi.

Pola pikir kita mengalir, kita sepakat gagasan tanpa data itu adalah ngawur. Borjuasi-borjuasi kelas elite, jangan biarkan mereka beronani diatas kursi empuk kekuasaan. Pinanglah dia dengan kritikan dan solusi. Ajaklah sekali-kali ngopi dengan petani, ngopi dengan tukang becak, ngopi dengan pedagang kecil, ngopi dengan pemulung, ngopi dengan preman, ngopi dengan seniman, yah,intinya perbanyaklah ngopi-ngopi, bukan sebatas ngopi di cafe-cafe elite.

Pesakitan-pesakitan politik memberangus,hilangkah makna pertalian dari darah merah yang mengalir ditubuh?. Namanya perjuangan tidak ada finishnya kawan. Dunia ini butuh dikuliti, sungguh kemerdekaan bukan sekadar menyanyikan lagu Indonesia Raya lalu selesai.

Seberapa banyak hutan dijarah, aset dimanipulasi untuk memperkaya kantong-kantong kuasa. Di depan mata kita sama melihat bangsa dipecah belah,karena kepentingan kuasa. Masihkah Indonesia tetap Indonesia?

Indonesia bukan Arab, Indonesia bukan Amerika, Indonesia bukan Israel, Indonesia adalah Indonesia. Kakek berpesan di ujung sahur subuh tadi, sembari meneguk kopi. Secangkir “kopi batte,” racikan Amma’, jenis kopi kampung rasa original.

“Hemmm nak demokrasi itu bagaikan sulap-sulapan, teka-teki, ibarat cita rasa kopi, kakek dan kau sama-sama penikmat kopi, selera kita berbeda, namun tetap sama-sama meminum kopi,”. Tutur kakek sambari memandangku penuh senyuman.

Imajinasi kembali meliar, menyelami tuturan kakek. Seketika kakek kembali berpesan ” Nak, jangan pernah memaksakan selera, karena kita punya selera masing-masing. Begitupun memilih pemimpin Negara, wakil-wakil rakyat, apapun pilihanmu ingat, jaganlah memilih yang mau menyulap Negara kita menjadi Negara yang bukan lagi berkarakter Keindonesiaan,” tuturan kakek kepadaku sembari mengelus jenggotnya yang tinggal beberapa helai.

Masih terlalu panas semangatku hari ini, membakar nalar kritis di depan layar kaca televisi, suguhan-suguhan wacana politik bagaikan permainan akrobat, inikah wajah politik identitas? Aku mengutip ungkapan Gusdur “Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan,”.

Pesan tersebut digaungkan untuk Negeri, tentang arti penting Politik kemanusiaan. Agar orientasi politik bukan untuk nafsu kekuasaan semata. Namun ruh-ruh demokrasi sehat harus mampu menyatu dalam jiwa seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya dinikmati oleh segelintir orang.

Politik kemanusiaan harus mengakar dan membumi, bukan malah politik menjadi alat, kita tentu tidak membenarkan, jika para borjuasi-borjuasi elite hanya sibuk melanggengkan kekuasaan. Sementara kepekaan sosial mereka masih tanda tanya.

Berita-berita politik mendominasi layar kaca televisi. Wow ini salah satu penanda bahwa tahun ini adalah tahun politik. Para penikmat berita seyogyanya harus memainkan analisis. Berita jangan ditelan begitu saja, ibarat memakan nasi langsung ditelan. Konten-konten tesaji, semua butuh diproses dengan kritis dan realistis.

Seketika daya tarik cerita dari seberang, memaksaku berhadapan dengan berat kantuk yang luar biasa. Sore ini ada janji berdiskusi, sembari menunggu beduk pertanda buka puasa tiba. Diskusinya menyoal tentang kasus pengerukan daerah aliran sungai di kampungku.

Lahan-lahan pertanian sudah banyak tergerus air, saat musim penghujan tiba. Apatahlagi hujan lebat,hingga menyebabkan banjir. Semakin meluaslah pengikisan lahan. Maka wajarlah jika sebagian masyarakat di kampungku, mereka lebih memilih bekerja sebagai pengemudi bentor (becak motor). Lahan-lahan produktifnya telah hanyut terbawa, akibat ulah tangan-tangan penguasa tambang.

Nalar-nalar kritis telah melawan, akibat maraknya praktek eksploitasi alam. Ada yang melawan lewat postingan di media sosial. Adapula menyalurkan kritikan lewat berdemonstrasi, dan tidak sedikit juga apatis dengan keadaan.

Seketika semuanya itu kehilangan kwalitasnya. Ketika nilai sebuah pengetahuan terkerangkeng. Ada sistem yang membatasi masyarakat untuk menikmatinya bersama.

Manusia butuh dimanusiakan, Hal-hal pokok terkait tentang kebutuhan dasar. Dimana manusia butuh ruang, untuk mengembangkan kemanusiaan. Demi perkembangan peradaban,agar bisa bergerak menjadi lebih maju.

Dengan bekal secarik kertas yang teramat berharga, sebagai pijakan untuk memulai. Jejaring perkawanan yang sepaham atas resahku, resahmu,dan resah kita bersama.

Kawanku kita sepakat,untuk menembus susunan batas birokrasi,sebab dunia materialistis kadang menggoda. Segala ketidakadilan akan menyebabkan jedah, antara manusia, pengetahuan dan kemanusiaannya.

Peradaban telah membenarkan kita sebagai mahluk yang berakal, tentu itu takkan pernah kesampaian. Lantas mengapa hari ini, kita kembali membatasi akses untuk perkembangan itu sendiri. Ahh imajiku semakin tidak karuan. Akupun rehat sejenak, kutarik buku sembari berselancar ditiap lorong kata.

Aku menikmati untaian diksi ditiap lembaran buku. Kakek tiba-tiba muncul dan berkata ” Nak, janganlah kita hidup hanya sebatas hidup,apalagi mengukur diri demi akumulasi nominal. Apakah keuntungan segelintir, lantas bisa memberi kehidupan sosial yang baik. Akh mereka salah nak, “. Kakek kembali menepuk pundakku.

Aku masih memungut ego di ruas-ruas jalan Ibu kota. Di sana menjadi kiblat penetapan sistem sentral pembangunan. Kebijakan disemai ke pulau-pulau hingga menjangkau ruas-ruas pedalaman.

Realita tidak jua menapikan, bahwasanya di desa-desa perjuangan kawan-kawanku mengawal kedaulatan pangan.
Mereka bersahabat dengan para petani atas kasus perampasan lahan. Berjuang untuk bertani secara alami. Hal ini tidak terlepas dari cita-cita perjuangan.

Masyarakat di desa harus benar-benar berdaulat. Dimana-mana potensi desa berkembang pesat jika dikelolah produktif. Harapannya rakyat,Negara harus senantiasa hadir.

Aku kembali menyegarkan otak sejenak memetik gitar. Tiba-tiba kakek tersenyum melihatku, menepuk pundak kananku sembari berkata “Nak,jangan pernah berhenti berproses, belajarlah dan bergeraklah sepanjang hayat, karena aktivis sejati tidak pernah mengenal predikat mantan aktivis, kakek usia senja begini masih jadi aktivis kok,”.

Kakek berlalu dan menitipkan secarik kertas. Deretan tulisan kakek itu tertuang butir UUD 1945,Pasal 33 ayat 3 “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,”.

Tulisan penutup kakek semakin mempertegas, “Tahukah engkau bahwasanya untuk membangun kehidupan yang lebih baik, harus dilandasi kemampuan berfikir yang mumpuni, pengetahuan untuk semua, tanpa memandang sekat-sekat warna perbedaan, “. Kakek pun berlalu meninggalkanku, melepas senyum tulusnya.