Masker Cinta di Tengah Covid-19

Oleh : Karmila Bakri

Tatapan tulus mendekap tiba-tiba, jantung berdetak, ritmenya tiada beraturan, ah, apakah ini yang dinamakan jatuh cinta? ataukah efek kelaparan? ataukah efek ketakutan berlebihan akibat Si Corona?.

Sesekali Yani merapikan masker yang dikenakan, hanya kedua biji bola mata yang nampak. Berinteraksi dengan memakai masker, ada lucu-lucunya, tak jarang kita tidak saling menyapa, sebab tidak nampak seluruh wajah.

Maskernya pun beragam, ada yang memakai simbol merah putih, warna-warni, masker berlogo instansi, dan masker berlogo partai politik. Masker adalah barang pokok yang harus dikenakan, pada saat keluar rumah, ke tempat publik. Tak masalah logo-logo penuh terpajang di masker, yang masalah itu ketika warga ingin memakai masker lantas tidak ada.

Virus corona pun tidak memandang masker yang dikenakan, jelasnya anda ingin aman yah, pakailah masker kala bepergian di tempat-tempat umum, apatah lagi jika anda terserang flu dan batuk.

Seheboh apa ketakutan-ketakutan dan keresahan warga?. Bagai ledakan menghipnotis, media sosial pun senantiasa mengupdate angka-angka pasien penderita positif Covid-19. Pemberitaan TV pun tak luput dari hebohnya virus corona.

Mengerikan memang, apalagi masyarakat doyan mengkonsumsi pemberitaan, Yani pun menatap warga kampung yang sudah dirundung keresahan.

Mulai dari desa sampai jantung kota, cairan disinfektan disemprotkan di ruas-ruas jalan, sampai pagar-pagar kebun warga, seganas inikah corona?, ah pak tani tetangga Yani berkilah.

“Nak, bagaimana betul ini virus corona? bapak belum paham benar, pemberitaan online juga selalu bikin nalar bapak seolah-olah belum menemukan jawaban, nah, pagar-pagar kebun bapak pun disemprot, padahal kebun bapak kan jauh dari pusat keramaian, ini corona betul-betul menyita perhatian, hingga melumpuhkan semua sektor, ” ungkap Pak tani.

“Nak, aturan pemerintah kan kita diminta jaga jarak atau bahasa gaulnya social distanching, karena virus corona penyebarannya cepat, nah saya kembali bingung nak, di kampung sebelah anaknya keluar hasil Swab Positif, lah kok sekeluarga tidak terpapar, sementara sudah berhari-hari dia berkumpul dan berinteraksi seisi rumah, kan aneh coba liat nak, hasil Swab keluarga pasien negatif, apa inna tonganna di’e bassa virus na’u, ? ” tambah Pak tani.

“Heboh bantuan BLT DD, sembako di bagi ke mana-mana, tak jarang menjadi konflik sosial, ada yang terdata dan tidak terdata, ya, sisiallangang bomi tuu seiyya, apa andiang mattarima BLT, nasanga kapang tannia utang negara di’o de, ” lanjut Pak tani.

“Saya cuek mi nak’,tidak juga sombong BLT DD, saya tolak karena hasil panen kebun alhamdulilah masih cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga, sebagian pula kami bisa bagi ke tetangga dan di jual ke pasar, ” lanjut Pak tani.

“Iya Pak, virus corona memang membuat kita dilematis, seketika kita disuguhkan aturan, yang mana fakta lapangan kadang berbeda, tapi kewaspadaan penting Pak, tapi bukan pula memelihara kecemasan berlebih, saya yakin bapak tidak akan terserang corona, karena selalu happy mencangkul, merawat lahan ditemani alunan musik di radio bapak itu, ah, sistem imun bapak terjaga, ” ungkap Yani.

“Ngomong-ngomong sayuran bapak segar-segar nih, bolehlah Yani minta seikat dua ikat buat buka puasa, ” lanjut Yani.

“Oh, boleh nak, tapi ada syaratnya, ” balas Pak tani.

“Syaratnya apa ya pak, kalau nggak berat-berat amat, boleh lah, ” ungkap Yani.

“Barter sayuran dan masker boleh ya nak, yah bapak kan tiap hari pasar, membawa hasil panen ke pelapak-pelapak di pasar, minimal buat jaga-jaga kan, eh bole request, mau yang masker warna merah putih itu, biar semangat juang tiada luntur karena corona, ” balas Pak tani sambil tersenyum.

3 pcs masker merah putih pun dihadiahkan ke Pak tani, lumayan pula barter dengan sayuran segar.

Yani dan pak tani pun berpisah, keluhan virus corona dari pak tani, menjadikan Yani senyum-senyum, melajulah kuda besi, ngegas meninggalkan perlahan-lahan kebun pak tani yang subur itu.

Deadline 15.00 Wita, aksi sosial menanti, kawan-kawan Yani sudah berkumpul, alhamdulillah telatnya hanya 5 menit.

500 pcs masker siap dibagi sore ini, para relawan begitu semangat, aksi pun dimulai berbagi masker dan sesekali mengenakan ke pengguna jalan.

Masker sah-sah saja dijadikan sebagai produk mendulang popularitas, dari jaman bahola sudah paham Yani, strategi perebutan ruang. Tidak mesti harus diperdebatkan berlebih.

Ah, kali ini Yani serasa menyaksikan film pendek, cerita Dilan dan Milea versi pandemi covid-19. Ini perebutan ruang asmara, hem, romantisme di tengah virus corona.

“Ketika kau menyayangiku, maka jaga kesehatanmu, sebab perjuangan ini masih panjang sayang,”. Seketika aku sontak terenyuh, mendengar kutipan itu lembut terdengar di lubang kupingku.

Aku berjalan mengendap, ditepi jalan kusaksikan kisah romantis itu, para petugas di area perbatasan pun menjadi saksi bisu.

“Milea, masker pink yang kau kenakan padaku, biarlah menjadi saksi, bahwa ada rasa sayang hadir, tanpa harus dipaksa, ” kata Dilan sembari menatap sayup kedua biji bola mata Milea.

“Dilan, masker merah putih yang aku kenakan ini, sebagai simbol bahwa kita bisa sama-sama berjuang, saling menjaga, dan optimis, Si Corona akan enyah dari Ibu Pertiwi, tapi dengan sarat, kita sama saling menjaga agar tetap safety, ” sambung Milea, sembari saling berbalas tatapan.

Dilan dan Milea pun saling menyematkan harapan, ” Mari bersama lawan covid-19, biarkan rindu terawat, di tengah pandemi, kita buktikan, kita pasti bisa melawan, hingga beribu-ribu syair rindu terangkai, dan tetaplah membumikan rasa kemanusiaan, bukankah semesta begitu bijak sayang, esok kita akan bersua kembali, memanen rindu di ujung jalan “.

Semua orang berhak menuangkan rasa, ada banyak cara kisah romantis hadir, Dilan dan Milea dipertemukan lewat aksi sosial, berbagi masker. Ah, cinta selalu menyajikan kejutan-kejutan indah.

Selepas pembagian masker, Yani pun kembali pulang, jelang berbuka di rumah handphone pun dicek, wow ada pemberitaan baru, di kampung sebelah bapak lurah dan warga adu mulut sebab pembagian sembako tidak sesuai standar, ada oknum yang mengurangi porsi sembako.

Beduk berbuka telah tiba, secangkir kopi hangat begitu bersahabat, berita-berita media sosial selalu jadi kejutan-kejutan tiap harinya.

” Corona oh corona, aku akan melawanmu dengan sayur segar dari pak tani, aku akan melawanmu dari vitamin-vitamin yang diberikan oleh sahabatku, aku tidak akan melumpuhkan aktivitasku di luar rumah, corona engkau sungguh terlalu, memberi dampak psikologis di bumi pertiwiku, ” tutup Yani.