Adi Arwan Alimin | Mentor Jurnalistik
Saya sebenarnya masih kurang sehat, Kamis kemarin. Tetapi janji untuk ke Ulumanda datang melalui undangan KPU kabupaten Majene, sepertinya tak bisa ditolak. Bersama Sulfan Sulo sejak November lalu kami hendak bertandang ke tempat ini, namun terus tertunda. Hingga teleponnya, dan surat yang dilampirkan di grup WA Komisioner menyembul. Sosialisasi yang digeber dalam program Tapak Tilas oleh Sukmawati M Sila ini seolah suplemen.
Sebagai pemegang wing Pejalan Kaki di Gerakan Pramuka, rekor saya jalan kaki dari Kelapa Dua Polewali-Sumarorong dan Sumarorong-Wonomulyo tahun 1996. Tapak tilas jelas memancing adrenalin. Jarak Kabiraan ke Taukong sebenarnya tidak begitu jauh, tetapi jalur utama Ulumanda ini luar biasa. Saya kira tidak berbeda jauh dengan rute ke Mamasa. Saya jadi membenarkan mengapa Eghi Amin wartawan kelahiran Ulumanda ini selalu menggerutu mengenai lajur ke kampungnya.
Tetapi begitu sampai di Taukong, setelah menyisir Tandeallo yang tingginya hampir 2000 meter dari permukaan laut, perasaan saya lampias. Hasrat sejak kecil untuk menjejak negeri ini terbayar, dimana-mana warga menawarkan senyum dan keramahan. Begitu turun dari motor, saya langsung menuju masjid, saat kami tiba adzan dzuhur baru saja berkumandang.
Oya, sebelum duduk di sadel motor anggota PPS yang sangat lincah melewati medan rusak parah, mobil kantor yang saya pakai, harus diparkir di sisi tebing Lombe, 5 kilometer dari Taukong. Pekerja jalan di sana menyarankan untuk tidak melewati ruas yang sedang mereka ratakan. Praktis kami harus berjalan kaki sekian kilometer.
“Falsafah penting orang Ulumanda itu, Litaq Napeuppangngi, Langiq Napindongai… itu menunjukkan bahwa mereka orang-orang yang konsisten, taat pada aturan, dan sangat percaya pada kehendak Tuhan. Jadi saudara-saudara saya di sini, jelas akan memilih pemimpinnya tanpa harus berharap akan menerima apapun. Sebab nilai kearifan orang Ulumanda, tak bisa dibeli dengan apapun…”
Komentar saya mengenai hal di atas, mendapat tepuk tangan warga Ulumanda yang hadir di hakaman SDN 7 Taukong. Mereka seolah menyadari bahwa kalimat bertuah itu telah ada dan lama bersemayam dalam kehidupan mereka. Penulis mengulangi sikap batin itu. “Apakah kalimat ini benar?” Mereka serempak mengatakan, “Benar!”
Usai sosialisasi beberapa tetua menyalami dan mengajak bertandang ke rumahnya. Salah seorang diantaranya bahkan menyebut, hingga kemarin belum ada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang mendatangi Ulumanda. Yang ada mungkin baru sebatas sosialisasi tim pemenangan.
Kami pulang jelang petang dari Taukong. Ribuan titik gerimis berjatuhan dari sekitar pegunungan yang memagari tempat ini. Kami segera beranjak setelah menikmati kopi hitam Ulumanda dalam cangkir yang bergegas panas.
Kami pun kembali ke Lombe, ketinggian Tandeallo. Sama, tetap menumpang boncengan motor. Di sini penguasaan medan lebih utama dari sekadar pandai naik motor. “Kami tiap hari begini pak,” kata Bundun, anak muda yang ditunjuk Suarman, Ketua PPK Ulumanda untuk mengantar saya ke Lombe. Punggung sedikit nyeri karena harus bertengger menyesuaikan keseimbangan tubuh, roda bermotor ini rupanya tak lagi utuh stan kakinya. Bayangkanlah naik motor dengan kaki menjuntai sepanjang jalur berbatu di tepi jurang.
Setelah sampai di Kabiraan, durian pun disuguh dengan aroma menusuk. Hanya mencecap beberapa biji. Setelah itu rombongan bertolak menuju ke Salutambung. Tapak purba Ulumanda penuh tilas ini membuat selarik rindu.
Bahagia telah menjumpai ratusan warga Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Barat 2017 di kaki negeri Ulumanda. Sampai ketemu di Hari Rabu, 15 Februari 2017.
Tandeallo, 19 Januari 2017