Netizen : Adrian Arif
Kerinduan akan kampung halaman sangatlah dirasakan bagi orang yang merantau. Apalagi yang berstatus sebagai mahasiswa, yang memiliki cita mulia kiranya mengabdi pada daerah aslanya ketika kembali dari rantauan dan membawa segudang ilmu yang akan diaplikasikan di daerah asalnya, sebagai langkah nyata yang akan memberikan perubahan dan kemajuan pada daerahnya.
Begitu pula yang hari ini kami musyawarahkan, dari mahasiswa rantau asal Mandar yang menempuh pendidikan di Yogyakarta, mengadakan suatu acara yang mana mengundang teman-teman mahasiswa rantauan dari Mandar pula yang menempuh pendidikannya di sebelah kota yang kami tempati yakni Malang.
Diskusi yang dihadiri mahasiswa Mandar Malang dan tentunya Yogyakarta sebagai pengada acara(30 Desember 2018), Dalam diskusi ini, disisiri persoalan-persoalan yang hari ini sangat memprihatinkan di tanah poyang kita itu. Seperti persoalan bahasa daerah yang mulai ditinggalkan, kesenian dan bahkan situs-situs sejarah yang ada di Mandar dipermak sekian rupa yang malah menghilangkan identitas keaslian dari sejarah tersebut.
“Teman-teman heran jika orang yang seperti saya, yang bahkan belum pernah menginjakkan kaki saya di tanah nenek saya itu di Sulawesi sana, bisa berbahasa Mandar dengan fasih? Semestinya saya yang justru terheran-heran saat melihat kawanku sekalian yang berasal dari tanah Mandar sana masih banyak yang tidak bisa menggunakan bahasa asli daerah kita” tutur Rahmat Yayad, salah satu pemantik delegasi mahasiswa Malang (yang mana saudara kita ini tinggal di pinggiran Madura sana yang memang mempunyai darah Mandar dan turunan orang Mandar). Semua hadirin terdiam sejenak dan disambung dengan pekikan bermacam-macam dan aplaus yang meriah.
Ternyata di Mandar sendiri banyak persoalan yang tidak dipublis oleh media dari perlakuan pemerintah yang niatnya ingin memperbaiki malah menghilangkan banyak sekali makna dari sitius yang ada itu. Bongkahan batu yang biasa dikenal sebagai situs sejarah yang terletak di Luyo misalnya yang kesohor dengan perjanjian Tammejarra yakni Allamungang Batu di Luyo, dimodifikasi dengan memperlihatkan ikon batu itu dengan cara diangkatnya dari tanah kemudian dibuatkan tugu yang kokoh dari semen dan ditaruh lah diatas tugu tersebut kiranya memperindah pemandangan kita. Padahal sebaliknya demikian itu malah mereduksi makna yang termaktub dalam perjanjian poyang kita pada masanya.
Terlepas dari semua hal-hal yang menjadi problem hari ini di Mandar yang kami diskusikan, yang terpenting ialah, tatkala kami sesama mahasiswa rantau asal Mandar bisa bersilaturahmi dan mempererat hubungan kekeluargaan. Malam harinya pun acara ini langsung kami sambung dengan merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW yang bertempat di Asrama Todilaling, Yogyakarta. Acara maulid kami kali sangatlah istimewa dengan kehadirahn saudara-saudara kami yang ada di Malang, bahkan oleh sebab itu kami tak kenal waktu ternyata larut sudah menjemput.
Puncak acara akan kami laksanakan di penghujung tahun 2018 secara bersama-sama sekaligus menyambut tahun baru secara bersama pula. Dengan berkunjung ke wisata Kalikuning atau wisata merapi.