Oleh Adi Arwan Alimin (Insight Mandarnesia)
KOMUNITAS literasi ekologi entitas yang mendorong individu untuk memahami pentingnya menjaga lingkungan dan mengambil keputusan kelestarian lingkungan. Kita dapat melihat contoh itu dari Rumah Baca Komunitas (RBK) Yogyakarta yang memiliki tagline Membaca, Menulis dan Menanam.
RBK bermarkas di Kanoman, Gamping Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Di sinilah Senin (9/12) malam lebih 20 komunitas literasi dari Mamuju Sulawesi Barat duduk melingkar.
Paparan pegiat atau tuan rumah RBK sangat memantik antusias aktivis baca tulis dari Mamuju. RBK merupakan komunitas yang sangat adaptif pada isu-isu jangka panjang seperti masalah lingkungan hidup atau ekologi. Komunitas ini mengusung semangat ekoliterasi.
“Komunitas ini berdiri tahun 2012 karena melihat adanya kesenjangan pengetahuan masyarakat pada akes buku,” sebut Lina pendiri RBK Yogyakarta saat menjelaskan keberadaan komunitas ini.
Ditemani sejumlah pegiat RBK yang ternyata berasal dari mahasiswa Makassar, Medan, dan Kendari Lina mengatakan, siapa saja dapat berkunjung ke RBK, baik untuk berdiskusi atau meminjam buku. Seraya mengatakan pengunjung boleh membawa pulang buku yang dipinjam dan tak perlu berpikir mengembalikannya.
RBK sebutnya tidak pernah membeli buku tetapi menerima sumbangan atau hibah buku dari banyak pihak. “Setiap buku yang tidak dikembalikan seperti menemukan ayah asuhnya, bahwa itu berarti ilmu akan menyebar ke yang lainnya,” tambah Lina lagi. Perempuan berjilbab itu sangat antusias menerima tetamu jauhnya.
Pegiat literasi Mamuju yang tiba usai shalat maghrib dijamu gorengan khas Yogyakarta dan tentu saja bakpia. Dialog yang sangat bersahabat dan tukar pandangan ini berlangsung hingga jam 22.00 lewat. RBK merupakan entitas penting di Yogyakarta yang mempertemukan antara urusan ekologi dan literasi.
Dalam catatan yang ditulis David Efendi salah satu pendiri RBK, ekoliterasi dikenal dari gagasan Fritjof Chapra (2002) yang sejak tahun 2013 menjadi eksperimen penting di RBK. Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini menegaskan, titik temu ekologi dan literasi menjadikan keduanya memiliki interaksi dan resipokrasi sehingga ilmu lingkungan dan pengetahuan berkembang secara dinamis.
“RBK telah menyalurkan 30 ribu judul ke seluruh jaringan literasi di Indonesia. Masyarakat jangan terlalu banyak dikutuk bahwa minat bacanya rendah, tetapi harus dilakukan sebuah gerakan yang diinisiasi komunitas. Literasi ekologi di RBK ini menurut Garret Hardin untuk dapat menjawab dan mengelola pertanyaan, ‘lalu bagaimana’,” ujar David yang juga Pengurus Pusat Muhammadiyah ini. Komentar terakhir yang mengayakan dari Garret ini penulis sitat di laman rumahnakomunitas.org.
Kepala Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Mamuju Muhammad Fauzan yang akrab disapa Kak Uut ini, mengatakan konsep yang dikembangkan RBK memberi pandangan baru kepada pegiat literasi yang dibawanya berkunjung ke Kota Pendidikan dengan kampus terbanyak di Indonesia ini.
Aktivis muda Moch Ferdi Al-Qadri dari Manakarra Book Club, mengatakan, “Kita hidup di tengah lingkungan dan alam, kita menghirup udara dan berpijak di tanah. Sebagai pegiat literasi harus kita berpihak kepada pelestarian alam.”
Ferdi datang membawa sebuah buku dari Mamuju lalu menukarnya di RBK untuk menanam kenangan penting. Dia seolah kembali karena studi S1-nya juga diselesaikan di sini. (*)
Yogyakarta, 10 Desember 2024