Resensi Buku Antologi Puisi Jalaluddin Rumi Kasidah Cinta

Oleh: Ulva Tia Saoja, Mahasiswa Unasman

Judul: Kasidah Cinta; Penulis: Jalaluddin Rumi; Penerjemah: Hartojo Andangdjaja;

Penerbit: Narasi; Tebal: 218 Halaman; ISBN: 9789791685009

Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri atau sering juga disebut dengan nama Rumi adalah seorang penyair sufi yang lahir di balkh pada 6 Rabiul Awwal tahun 604 Hijriah. Rumi adalah salah satu sufi terbesar islam dan salah satu yang paling popular di dunia.

Banyak sekali syair-syair dari Jalaluddin Rumi yang sangat menyentuh jiwa dan hati. Syair yang dikemas sedemikian rupa yang sangat mengagungkan dan meng-esakan Tuhan

Buku Kasidah Cinta adalah salah satu buku antologi puisi oleh jalaluddin rumi yang membahas syair-syair ketuhanan yang nyentrik dan dikemas dengan penuh penghayatan. Jika hanya dibaca sepintas, syair dalam puisi-puisinya hanya sekedar berisikan kata-kata cinta kasih yang biasa saja dan terkesan alay. Namun jika dipandang melalui penghayatan, puisi yang terkemas dalam Kasidah Cinta adalah puisi-puisi pemujaan terhadap Tuhan yang maha esa, bahwa kita manusia hanyalah seorang hamba yang tidak ada apa-apanya dan tidak dapat sebanding dengan keagungan Tuhan yang Esa.

Sangatlah sulit untuk membaca syair-syair Rumi dari kacamata awam. Tidak sedikit para pembaca kebingungan mencari makna yang hendak disampaikan Rumi. Dari segi judul, Rumi hendak menyampaikan sebuah hakikat dari cinta dan kasih sayAng yang sebenarnya kepada Tuhan Pencipta Semesta. Bahwa sesungguhnya realitas tentang cinta kepada Tuhan itu terletak pada hati dan tidak mendewakan rasionalitas semata.

Sufisme Jalaluddin Rumi tergambar jelas dalam setiap tulisan-tulisannya. Bahwa kecintaan dan kerinduan kepada sang Khalik sebenarnya hanyalah tabir untul tertuju pada satu hal.

Banyak sekali peneliti-peneliti yang yang tidak bias menafikkan pemikiran Rumi. Bahkan dalam cerita Qais dan Laila, Rumi sangat membongkar pemikiran-pemikiran yang hanya berdasarkan rasionalitas semata, bahwa lebih tinggi dari hal itu, ada hati dan penghayatan. Pemikiran Rumi yang sangat luar biasa selalu membuat saya terkagum-kagum dalam setiap lantunan syair-syairnya. Majas yang digunakan sangat membongkar kamus di dalam otak. Seringkali, saya dibuat kebingungan dengan majas-majasnya dan tidak jarang sulit untuk menghayati syai-syairnya.

Rumi pernah berkata, bahwa puisi bukanlah karya yang hanya terikat dengan rima, bait, diksi, lagu atau bahkan diksi yang terlampau hebat, akan tetapi juga berkaitan dengan kebaikan dan perilaku masyarakat. Esensi dari puisi seharusnya dapat mempengaruhi masyarakat untuk memperbaiki diri dan menemukan esensi spiritualitasnya. Dari syair-syair Rumi, digambaran jelas bagaimana kecintaan terhadap Tuhan dan kerinduan terhadapNya.

Rumi menggunakan banyak sekali majas dalam syairnya sehingga hal itu yang menjadi salah satu kelebihan ataupun kekurangannya. Jika ditelisik dari kacamata sastra, syair-syair dan tulisan-tulisan rumi sangat luar biasa. Namun jika ditelisik dari kacamata awam, syair rumi hanya berisikan kata-kata yang sama sekali tidak dapat diterima pembendaharaan dalam kepala, terkhususnya diri saya sendiri. Butuh berkali-kali baca dan kerulang-ulang panalisis terhadap karya-karya Rumi utuk dapat benar-benar memahami apa yang hendak disampaikan Rumi di dalam tulisan-tulisannya.

Kekurangan yang sangat tampak pada karya-karya dan tulisan dengan aliran sufisme, syair-syairnya menggunakan diksi yang sangat sulit dipahami dan asing bagi awam, apalagi jika berbicara tentang ilmu tasawuf dan kesufian. Sehingga pesan yang disampaikan tidak langsung bias diterima oleh akal.  Pun dapat dipahami, kita membutuhkan waktu.

Sejatinya, setiap karya tidak jauh dari kritikan dan pujian. Pentingnya kedua hal tersebut agar kita lebih berpikir kritis dan menguatkan daya analisis. Tidak ada karya yang sempurna. Karena kita hanyalah hamba.

Sumber Gambar: Google/Repro