Catatan Mini Kebudayaan: Rahmat Muchtar
Kegelisahan-kegelisahan akan pelestarian dan pengembangan kebudayaan daerah, telah lama lahir diseluruh Indonesia yang begitu beragam budayanya. Teramat kaya. Kegelisahan tersebut menandai adanya pergumulan pemikiran anak-anak bangsa, para intelektual dan aktifis budaya terhadap dinamisme kebudayaan melalui berbagai polemik di media massa, forum seminar, kongres dan berbagai aksi event. Baik pada skala nasional maupun daerah dengan bobot serta tantangannya masing-masing.
Sebelum terbentuk Provinsi Sulawesi Barat, tidak ketinggalan pula pergumulan pemikiran kebudayaan Mandar yang lahir menjadi warna serta penyangga tersendiri. Salah satunya dapat kita ketahui lewat Seminar Kebudayaan Mandar tahun 1984 yang dihelat di Majene dan juga Tinambung. Berbagai peminat kebudayaan, tokoh masyarakat, ex pemangku hadat, mahasiswa, pelaku sejarah mulai dari Polmas, Majene dan Mamuju berkumpul mediskusikan/membedah berbagai topik aspek kebudayaan Mandar. Sebagai pergumulan pemikiran kebudayaan, maka hasil Seminar Kebudayaan Mandar tahun 1984 serasa masih relevan menjadi acuan guna semakin memperkaya khazanah berbagai topik kebudayaan yang belum terpapar di dalamnya termasuk ranah kemaritiman dll.
Pada Seminar Kebudayaan Mandar yang bisa dikatakan monumental tersebut, sebab digagas, diamini dan disupport berbagai tokoh budaya dan intelektual Mandar kala itu. Sebutlah diantaranya yakni para aktifis perempuan Mandar (Keluarga Wanita Polemaju), Andi Depu, Baharuddin Lopa, A. Abd. Malik, Basri Hasanuddin, Ny, Rosmiani Ahmad, Andi Mappatunru, Husni Djamaluddin, Ahmad Sahur, M. T. Azis Syah, Abd. Muthalib, Saiful Sinrang, Muis Mandra, Suradi Yasil, Abdullah, Andi Maksum Dai, Rasyid Kampil dan sederet tokoh/intelektual lainnya. Serta disokong penuh oleh Gubernur Sulawesi Selatan kala itu dan Bupati juga ketua DPRD se Polemaju. Panitia seminar membagi empat klasifikasi aspek yang dirembuk termasuk aspek sejarah, stratifikasi sosial, bahasa Mandar dan kesenian.
Dari empat aspek itulah terpapar 9 presentasi makalah yakni : 1) Zaman tomanurung di Mandar oleh Salahuddin Mahmud, 2) Masuknya Islam dan pengaruhnya pada kebudayaan Mandar oleh Drs. Mochtar Husein, 3) Perjuangan menentang penjajahan asing di Mandar oleh Nur Aeni Ahmad, 4) Aspek gotong royong dalam adat perkawinan di Mandar oleh Drs. Ahmad Sahur, 5) Pelapisan sosial masyarakat Mandar oleh Drs. Madjid Kallo, 6) Pola kepemimpinan tradisional di Mandar oleh Drs. M. T. Azis Syah, 7) Fungsi kedudukan pengembangan bahasa Mandar oleh Drs. Abd. Muttalib, 8) Kesenian Mandar dan pengembangannya oleh Andi Syaiful Sinrang, 9) Kesenian Mandar dan masalah kreatifitas oleh Drs. Husni Djamaluddin (Naskah laporan hasil Seminar Kebudayaan Mandar, 1984).
Sebagaimana didefenisikan Ki Hajar Dewantara, bahwa Kebudayaan Nasional Indonesia adalah segala puncak dan sari kebudayaan daerah diseluruh kepulauan Indonesia baik lama maupun baru yang berjiwa nasional. Demikianpun selaras dari maksud dan tujuan Seminar Kebudayaan Mandar kala itu, yang berupaya menghimpun pokok pikiran kebudayaan sebagai bahan penyusunan dari berbagai aspek kebudayaan daerah ke depan yang turut menyangga kebudayaan nasional. Maka bila suatu waktu kebudayaan daerah di Provinsi Sulawesi Barat sedemikian parah deformasi kebudayaannya, atau bahkan sudah tidak lihai menjaga dan kembangkan sari serta puncak-puncak kebudayaannya yang selama ini dibanggakan, seperti perahu sandeq, kain tenun, arsitektur, bahasa dan lain-lain sebagainya, maka secara otomatis salah satu penyangga kebudayaan nasional Indonesia pincang. Sebagaiamana dimaksud Ki Hadjar Dewantara.
Mandar, 27 Februari 2022