Pendidikan Telah Mati

Lalu Tuhiryadi

Oleh: Lalu Tuhiryadi, Guru SMKN 1 Mamuju

Berbicara tentang fungsi sekolah maka ada banyak rumusan tentang fungsi sekolah.

Namun menurut Benjamin Bloom bahwa sekolah, sebagai lembaga pendidikan pada dasarnya berfungsi menggarap tiga wilayah kepribadian manusia yang disebut sebagai taksonomi pendidikan yaitu membentuk watak dan sikap (afektif domain), mengembangkan pengetahuan (cognitive domain) serta melatih keterampilan (psyikomotorik domain).

Pada umumnya semua orang akan sepakat dengan rumusan yang dikemukakan Bloom. Pada intinya sekolah bertugas membentuk manuasia dalam arti yang sebenarnya yang seutuhnya, karena ketiga hal itulah (watak, pengetahuah dan keterampilan) yang menjadi ciri khas kemanusiaan yang membedakan pribadi seseorang dengan mahluk lain.

Oleh karena itu sekolah hanya dapat dikatakan ada dan berhasil ketika nilai-nilai tersebut telah diajarkan yang kemudian dapat di terapkan dalam perilaku keseharian para pendidik dan peserta didiknya, jika semua itu tidak tercapai apalagi tidak diajarkan maka itu berarti bahwa sekolah telah mati.

Lantas bagaimana dengan sekolah yang ada saat ini, apakah nilai-nilai tersebut telah diajarkan? Realitasnya sekolah (dalam hal ini guru) yang seharusnya mempunyai tugas dan kewajiban untuk mendidik ternyata hanya sekedar mengajar (setengah hati).

Guru seharusnya mengajarkan peserta didiknya tentang realitas yang ada disekelilingnya, dengan begitu sekolah berfungsi sebagai laboratorium untuk mencari pemecahan atas masalah-masalah social yang terjadi dimasyarakatnya sehingga sekolah menjadi dekat dengan realitas masyarakatnya dan tidak menjadi menara yang terpisah dengan realitasnya dan seharusnya dalam setiap pelaksanaan proses belajar mengajar, materi yang diajarkan mestinya selalu dikontekskan dengan fakta riil kondisi masyarakat yang ada disekelilingnya.

Misalnya ketika guru menjelaskan tentang pelajaran ekonomi maka mestinya dikaitkan dengan kondisi dan problem perekonomian masyarat, begitu juga dengan mata pelajaran lain seraya mencoba menganalisis factor-faktor yang menyebabkan kondisi dan problem tersebut terjadi dan jika hal ini dapat dilaksanakan dalam setiap kegiatan proses belajar mengajar maka para peserta didik telah diajarkan tentang bagaiman ia harus memilki kepekaan dan kepedulian terhadap setiap problem social yang dihadapi oleh masyarakat.

Dengan demikian sekolah akan menghasilkan orang-orang yang memilki rasa tanggung jawab baik terhadap dirinya maupun masyarakatnya. Akan tetapi faktanya peran-peran tersebut nyaris tak nampak dalam kegiatan proses belajar mengajar karena peserta tidak lagi diajarkan bagaimana ia harus mempunyai rasa empati terhadap berbagai problem social yang sedang terjadi didepan matanya.

Para peserta didik justru diajarkan bagaimana menjadi mahluk egois, penuh hasrat materil dan bermental budak yang hanya respek terhadap kepentingan pribadinya saja. Hal ini terjadi karena dalam kegiatan proses belajar mengajar, aspek yang paling banyak diabaikan ialah sikap, prilaku, kepribadian dan nilai-nilai kemanusiaan.

Akibatnya, apa yang menjadi esensi dari pendidikan tidak tercapai dan akhirnya sekolah hanya memproduk manusia yang memiliki kepribadian yang jauh dari nilai-nilai kemanusian yang tidak memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap realitas sosial yang sedang terjadi disekelilingnya.

Hal inilah yang menyebabkan kebanyakan orang menjadi sangat individualis yang hanya berfikir tentang dirinya sendiri, tanpa mau peduli terhadap penderitaan serta penzaliman yang dialami orang lain, Bahkan mungkin kelak dialah yang justru menindas dan membodohi orang lain dengan pengetahuan dan keterampilan yang ia miliki.

Ini merupakan suatu hal yang amat memprihatinkan dan jika terus menerus terjadi maka sekolah hanya kan melahirkan manusia-manusia penindas yang memiliki budaya yang serakah dan hasrat besar untuk memangsa orang lain demi kepentingan yang ingin diraihnya.

Sehingga jangan heran jika para manusia yang telah bertahun-tahun didik disekolah memilki watak setengah manusia, tak punya belas kasihan serakah dan zalim atau bahkan lebih buruk dari dari binatang. Kita bisa lihat betapa banyak orang-orang yang pada satu sisi telah mendapatkan penghargaan yang luar biasa atas keberhasilannya dalam dunia pendidikan namun disisi lain ia juga memperlihatkan watak, tak punya belas kasihan, serakah srta menindas orang lain sebagai mana wajah yang ditampilkan oleh para penguasa dinegeri kita ini yang tak segan-segan mendzalimi, memeras dan merampas hak-hak rakyatnya.

Kalaupun tidak menjadi pejabat/penguasa maka orang-orang yang telah dan sementara dididik sekolah bukannya memiliki watak dan kepribadian yang baik tapi justru sebaliknya. Dalam kehidupan sehari-hari anak-anak sekolah mempunyai kecendrungan yang lebih besar mengunjungi tempat-tempat hiburan, tawuran dijalan, ngisap ganja, kumpul kebo minum-minuman keras dan masih banyak kebiasaan buruk lainnya.

Semua fakta ini membuat kita heran dan bertanya Apa semua itu yang diajarkan oleh sekolah? kalau ia lantas apa makna dan fungsi sekolah, apa gunanya sekolah dibangun disana sini dengan bangunan yang megah dan glamour yang dibangun dengan uang yang berasal dari tetesan keringat hasil jerih payah rakyat.

Dan kalau jawabanya tidak dimanakah tanggung jawab sekolah untuk mendidik para peserta didiknya untuk menjadi manusia yang sebenarnya sebagaimana fungsi sekolah yang sebenarnya.

Apakah sekolah harus lepas tangan, masihkah sekolah menyangkal dan mengatakan bahwa itu bukan kesalahan sekolah?
Kebobrokan yang dipaparkan diatas baru pada aspek kepribadian, lantas bagaimana dengan aspek penegetahuan dan keterampilan? Apakah sekolah telah menjalankan fungsinya? Untuk menemukan jawabannya maka kita harus melihat sebenarnya seberapa banyak ilmu dan keterampilan yang dimilki oleh peserta didik yang memang benar-benar diberikan oleh lembaga pendidikan yang namanya sekolah? Berapa banyak lulusan sekolah yang mempunyai karya yang bersal dari pengetahuan dan keterampilan yang didapat di bangku sekolah? Berapa banyak lulusan sekolah yang dapat diterima langsung bekerja tanpa harus menjalani masa percobaan dan training untuk memberikan pengalaman dan keterampilan? Apakan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang diajarkan hanya sekedar formalitas dan sebagai pelengkap dan embel-embel saja demi memenuhi ketentuan kurikulum resmi yang berlaku? Kalau jawabnya tidak lalu kenapa banyak sarjana yang telah bertahun-tahun duduk disekolah tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang tak mampu berbuat apa-apa dan hanya jadi pengangguran.

Kalaupun ia dapat memperoleh pekerjaan maka pekerjaannya tidak relevan dengan pengetahuan dan keterampilan yang ia geluti disekolah.
Fenomena ini dapat kita lihat dari realitas dimana sarjana hukum memilih jadi pejabat, sarjana ekonomi jadi artis, sarjana bahasa jadi atlet, sarjana pertanian jadi wartawan, dll.

Kondisi sekolah saat ini sudah kian memprihatinkan, karena sekolah ternyata tidak mampu menjalankan peran dan fungsinya sebagai institusi pendidikan untuk mendidik manusia menjadi manusi yang memilki kepekaan dan kepedulian social serta tanggung jawab dalam menciptakan masyarakat yang sejahtara dan berkeadilan social.

Belum lagi dengan penomena sekolah yang dari waktu-kewaktu menjadi semakin mahal Khususnya perguruan tinggi yang merupakan akibat pengelolaan institusi pendidikan yang bergeser dari tujuan pendidikan, mengakibatkan Perguruan tinggi dikelola bak perusahaan yang hanya lebih berorientasi bisnis (komoditas), akibatnya akses masyarakat terhadap pendidkan Tinggi menjadi semakin kurang khususnya bagi rakyat miskin menjadikan sekolah hanya dapat dinikmati oleh orang-orang yang punya kemampuan finansial sementara kaum miskin hanya menjadi penonton dinegerinya sendiri dan bagi mereka Perguruan tinggi hanya menjadi barang mewah yang mustahil mereka jagkau. Padahal seharusnya pendikan menjadi sarana bagi mereka untuk mencerdaskan diri dan untuk memperbaiki tarap hidupnya namun ternyata itu hanya menjadi angan-angan semata.

Kita bisa melihat berbagai macam praktek-praktek bisnis yang dijalankan oleh institusi Perguruan tinggi baik Negeri maupun Swasta seperti menaikkan biaya spp, uang pangkal dan pungutan-pungutan lain yang sangat mebebani para orang tua peserta didik mulai dari ratusan ribu hingga pulahan bahkan sampai ratusan juta.

Semua itu semakin mempertegas bahwa sekolah benar-benar telah menjadi komoditas bisnis untuk meraup keuntungan bagi penentu kebijakan pada setiap intritusi pendidikan. Sehingga kita tidak perlu heran jika setiap awal tahun ajaran baru, masyarakat Indonesia, terutama orang tua siswa selau diresahkan oleh mahalnya biaya pendidikan anak-anaknya yang kian mahal. Sebuah taman kanak- kanak saja memungut uang masuk ratusan ribu hingga jutaan. Terlebih pada perguruan tinggi untuk S1 jurusan yang tidak populer saja SPP nya kisaran 2jt- 5 jt rupiah, bagamana dengan jurusan popular seperti Kedokteran, STAN, STPDN ? jangan ditanya lagi, sudah pasti para orang tua harus menyiapkan uang ratusan juta untuk uang masuk dan SPPnya.
Semua fakta diatas mencerminkan betapa paradoksx tujuan pendidikan dengan realitas pendidikan yang terjadi hari ini.

Padahal sesungguhnya betapa besar harapan para orang tua yang menyekolahkan anaknya agar anaknya kelak menjadi manusia yang berguna bagi dirinya dan bangsanya walau dengan ongkos yang begitu banyak. Namun ternyata para orang tua tersebut telah diperas oleh institusi yang berkedok pendidikan. Celakanya ongkos yang telah dikeluarkan utuk membiayai pendidikan tidak sebanding dengan apa yang didapatkan dari dunia pendidikan.

Isi tulisan menjadi tanggung jawab penuh penulis.