MANDARNESIA.COM, Polewali — Pemerintah terus memperkuat penerapan Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) sebagai instrumen penting untuk memastikan seluruh hasil hutan Indonesia berasal dari sumber yang legal dan lestari. Tahun 2025, kebijakan SVLK diarahkan tidak hanya menjaga tata kelola hutan, tetapi juga meningkatkan daya saing UMKM kehutanan di pasar global.
Materi Sosialisasi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 tahun 2021 disampaikan oleh Eko Novianto Nugraha Hadi dari Direktorat Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan (BPPHH) Kemenhut RI, dalam acara Sosialisasi Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Kehutanan dilaksanakan di Hotel Bumi Raya, Polewali, Kamis (30/10/2025). Acara ini merupakan hasil kolaborasi antara Kementerian Kehutanan Republik Indonesia dengan Anggota Komisi IV DPR-RI, Ajbar, S.P.
Menurut Eko Novianto, SVLK pertama kali diterapkan pada 2009 sebagai Sistem Verifikasi Legalitas Kayu, dan kini berkembang menjadi sistem yang mencakup aspek kelestarian. Seiring perubahan pasar dunia, sistem ini terus disesuaikan untuk menjawab tuntutan regulasi internasional seperti Lacey Act di Amerika Serikat, Illegal Logging Prohibition Act di Australia, serta European Union Deforestation-Free Regulation (EUDR) di Uni Eropa.
Ia menjelaskan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menegaskan bahwa seluruh hasil hutan yang diproduksi, diolah, dan dipasarkan harus berasal dari bahan baku yang legal atau lestari sebagaimana diatur dalam PP Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. Payung hukum ini diperkuat dengan PermenLHK Nomor 8 Tahun 2021 serta Keputusan Menteri LHK Nomor SK.9895/2022 tentang Standar dan Pedoman Pelaksanaan SVLK.
“SVLK memberi banyak keuntungan bagi dunia usaha. Sertifikasi ini meningkatkan kepercayaan pasar internasional, membuka akses ekspor, dan memperkuat posisi produk kehutanan Indonesia di rantai pasok global,” jelas Eko.
Selain memperkuat aspek legalitas, pemerintah juga memperluas fasilitasi bagi pelaku UMKM kehutanan. Berdasarkan PermenLHK No. 8/2021, pemerintah pusat maupun daerah dapat memfasilitasi pembiayaan sertifikasi SVLK bagi UMKM yang memproduksi untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Skema ini melibatkan sinergi lintas instansi, antara lain Dinas Kehutanan, Dinas Perindustrian, dan BPHL, mulai dari identifikasi UMKM, pendampingan, hingga sertifikasi oleh Lembaga Penilai Verifikasi Independen (LPVI).
Fasilitasi juga diberikan untuk pembentukan sertifikasi kelompok bagi industri kecil dan menengah yang memiliki keterbatasan sumber daya. Langkah ini diharapkan menekan biaya sertifikasi serta memperluas jumlah pelaku usaha yang ber-SVLK. Berdasarkan data hingga Juni 2025, ribuan pelaku usaha di sektor hulu dan hilir telah memegang sertifikat SVLK, mulai dari pemegang izin pengelolaan hutan, perhutanan sosial, hingga eksportir produk kayu.
Untuk memperluas pasar domestik, KLHK juga meluncurkan E-Katalog Produk Hasil Hutan Ber-SVLK yang mempermudah pemerintah membeli produk UMKM kehutanan bersertifikat, seperti tatakan kayu, plakat, atau suvenir kayu olahan.
Eko menambahkan, dengan perkembangan terbaru SVLK, sistem ini kini dilengkapi fitur geolokasi untuk meningkatkan ketelusuran bahan baku kayu. “Fitur ini menjadi jawaban terhadap tuntutan transparansi rantai pasok global,” ujarnya.
Melalui langkah-langkah tersebut, pemerintah berharap kebijakan SVLK menjadi tulang punggung ekonomi hijau sektor kehutanan sekaligus memperkuat posisi Indonesia sebagai pelopor tata kelola hutan berkelanjutan di dunia. (WM)










